Peran orang tua dan guru sebagai figur kebajikan dan filter atas keburukan sudah kian sulit dan minim. Terlebih lagi dengan adanya globalisasi, yang membuat berbagai macam informasi bisa masuk secara leluasa pada generasi muda. Akibatnya, anak-anak dan para remaja banyak yang terkena dampak informasi global tersebut, tidak punya filter dan pantauan lebih dari orang tuanya maupun guru. Hal itulah yang kemudian menjadi tantangan negara Indonesia dan para ulamanya. Figur teladan dan kebajikan dari orang tua dan guru sudah mengalami krisis.
Demikian disampaikan Menteri Agama Republik Indonesia, Drs. H. Lukman Hakim Saifuddin saat menjadi penceramah dalam Pengajian Ramadhan yang diselenggarakan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Pengajian Ramadhan yang ke-20 tersebut bertempat di Gedung AR. Fakhruddin B lantai 5 Kampus Terpadu UMY, dan telah berjalan sejak hari Selasa (1/7). Sementara pada hari terakhir, hari ini, Kamis (2/7) PP Muhammadiyah menghadirkan Menteri Agama RI sebagai salah satu pembicaranya yang membawakan tema “Dakwah Islam yang Mencerahkan Menuju Indonesia Berkemajuan”.
Dalam pemaparannya, Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin mengatakan, sebelum globalisasi masuk ke Indonesia, orang tua dan guru memiliki peran yang besar sebagai seorang figur kebajikan dan keteladanan. Semua pembelajaran dan nilai-nilai kebajikan terhadap anak dan remaja datang dari orang tua dan guru. Namun, seiring masuknya globalisasi dan informasi yang begitu bebas masuk pada diri generasi muda, menjadikan peran dari figur tersebut menurun. “Sekarang, nilai-nilai yang datang dari arus globalisasi tersebut dengan berbagai macam warna-warninya bisa leluasa memasuki ruang-ruang privat anak-anak dan remaja kita. Tapi tanpa ada filter dari orang tua dan guru. Dan tidak ada yang menjelaskan informasi yang didapat oleh mereka dari pengaruh globalisasi itu. Karena informasi yang diterima oleh mereka juga sangat cepat dan mudah sekali diakses. Sementara orang tua dan guru masih minim melakukan pantauan terhadap mereka,” paparnya.
Karena itulah, menurut Lukman, kaderisasi ulama menjadi hal serius yang harus dilakukan. Karena tantangan yang dihadapi negara dan ulama ke depannya juga akan semakin berat. Hal ini juga untuk membantu munculnya kembali figur kebajikan dan keteladanan tersebut. “Kaderisasi ulama menjadi hal yang serius ke depannya. Karena tantangan kita akan semakin berat. Selain karena sekarang kita sedang mengalami krisis teladan, globalisasi itu juga membawa dua kutub ekstrim yang bisa membahayakan keberagamaan di Indonesia. Karena dua kutub itu terdiri dari satu kutub yang mudah mengkafirkan dan satu kutub lainnya yang memiliki paham bebas tapi tanpa batas,” ungkapnya.
Namun di sisi lain, Lukman juga mengungkapan bahwa para ulama juga harus bisa membedakan antara esensi dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar. Dakwah yang harus dilakukan pada masyarakat majemuk seperti Indonesia itu menurutnya, haruslah dakwah dengan mengedepankan mau’idhah hasanah (lebih pada cara-cara yang baik dan tidak memaksakan). “Sementara untuk konteks amar ma’ruf nahi munkar sendiri, menurut saya lebih ditujukan pada orang-orang yang memang sudah beriman, sudah Islam. Karena esensi dari amar ma’ruf nahi munkar itu adalah mengajak pada kebajikan dan mencegah kemungkaran atau keburukan. Dan itu sudah menjadi konsekuensi dari keimanan seseorang. Jika dia sudah memilih menjadi seorang mukmin, maka harus melakukan amar ma’ruf nahi munkar itu,” pungkasnya.