Perkembangan agama di masing-masing negara memiliki perbedaan, salah satunya yaitu terkait dengan perkembangan budaya Islam di Australia. Negara Australia cukup dikenal sebagai negara yang mengedepankan isu-isu toleransi, baik itu antar agama, dan juga budaya. Atas hal itu, untuk mempelajari perkembangan Islam di Australia 2 dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) berangkat ke Australia melalui sebuah program MEP (Muslim Exchange Program) yang diselenggarakan oleh Pemerintahan Australia. Kedua dosen UMY tersebut yaitu Muhammad Zahrul Anam, S.Ag, M.Si dosen Program Studi Hubungan Internasional UMY, dan Firly Annisa, M.A dosen Program Studi Ilmu Komunikasi UMY.
Seperti diungkapkan oleh Firly ketika dihubungi BHP UMY pada Sabtu (26/3) mengungkapkan, keberangkatannya yang telah dilakukan sejak tanggal 4 hingga 20 Maret melalui program MEP tersebut yaitu sebagai duta muslim Indonesia untuk mempelajari bagaimana toleransi-toleransi antar agama yang berkembang di Australia, khususnya agama Islam. “Di sana kami mengunjungi komunitas-komunitas yang konsen terhadap hak asasi manusia (human right), gender quality, isu-isu sosial, dan utamanya Agama,” ungkapnya.
Pelaksanaan terkait toleransi antar masyarakat di Australia menurut Firly berjalan dengan cukup baik, hal tersebut didukung dengan adanya komunitas-komunitas yang turut mengkampanyekan isu-isu toleransi kepada masyarakat Australia. “Masyarakat muslim di Australia sangat dihargai, baik oleh pemerintah maupun masyarakat sipil, tidak ada diskriminasi yang dilakukan, bertolak belakang dengan isu-isu yang diberitakan oleh media massa,” tambah Firly.
Selain memperlajari perkembangan budaya Islam di Australia, dalam kesempatan tersebut perwakilan duta muslim dari Indonesia juga memperkenalkan bagaimana isu-isu toleransi yang terjadi di Indonesia, khususnya dalam hal keagamaan. “Saya mewakili UMY dan juga Muhammadiyah, turut memperkenalkan UMY sebagai universitas yang mencetak generasi Islam yang progresif, dan juga peran-peran Muhammadiyah sebagai organisasi Islam bagi masyarakat Indonesia,” ungkapnya.
Kembali ditambahkan oleh Firly, terpilihnya dia dari 350 orang pendaftar dikarenakan beberapa hal, salah satunya yaitu peran sertanya yang aktif dalam organisasi atau komunitas kepemudaan, diantaranya Rumah Sinema dan juga Ranting Aisyiyah, yang kedua-duanya merupakan sebuah organisasi yang konsen terkait literasi media yang berbasis pada pemahaman multikultural. “Terdapat kurang lebih 350 pendaftar program MEP dari seluruh Indonesia, dan hanya terpilih 10 orang dan dua diantaranya dari UMY yang dapat mengikuti program tersebut, salah satu alasan saya dapat terpilih sebagai duta muslim (young leadership) dari Indonesia karena saya ikut berperan dalam isu-isu multikultural, yang khususnya berbasis pada literasi media, saya pernah diberi kesempatan untuk menyampaikan materi bagi perempuan-perempuan Katholik terkait dengan literasi media berbasis multikultural,” tambahnya.
Sementara itu, Zahrul Anam yang akan turut mengikuti program MEP pada bulan April yang akan datang mengungkapkan, program ini juga memiliki tujuan untuk memperkuat hubungan antar negara Indonesia dengan Australia dalam konteks antar muslim kedua negara. “Program ini nantinya diharapkan dapat memberikan ilmu baru terkait dengan bagaimana Pemerintah Australia berperan dalam penanganan kurikulum toleransi dalam dunia pendidikan, dan mengurangi konflik horizontal, khususnya terkait keagamaan,” ungkapnya.
Kembali ditambahkan oleh Zahrul Anam, terplihnya dia mewakili UMY sebagai duta muslim dari Indonesia yaitu berkat keterlibatannya dalam program yang dijalankan oleh Majelis Tabligh PP Muhammadiyah yang berhubungan dengan peningkatan akidah dan keislaman bagi kelompok disabilitas di Indonesia. “Kami berharap dengan keterlibatan saya mewakili Majelis Tabligh PP Muhammadiyah dan juga UMY bisa mendapatkan pengalaman atau pengetahuan bagaimana pemerintah Australia menangani kelompok-kelompok muslim disabilitas, karena sejauh ini di Indonesia penanganan terkait fasilitias dan infrastruktur bagi muslim kelompok disabilitas masih minim, dan bahkan belum tersentuh oleh Pemerintah, sedangkan di Australia sudah terdapat aturan dan regulasi penanganan fasilitas dan infrastrukur keagamaan bagi kaum disabilitas,” tutupnya. (Adam)