Pertumbuhan energi terbarukan terus mengalami kemajuan yang signifikan. Berdasarkan laporan dari lembaga International Energy Agency pada tahun 2023 energi terbarukan telah menghasilkan 29% dari total pembangkit listrik di seluruh dunia. Pesatnya kebutuhan untuk menggunakan energi terbarukan masih bergantung kepada energi yang bersumber dari tenaga air, matahari dan angin, dimana menurut pakar teknologi dan lingkungan Assoc. Prof. Che Zulzikrami Azner Abidin ini berdasar atas kepedulian terhadap perubahan iklim yang ekstrem. Kendati demikian, pembangunan proyek energi terbarukan tetap menghasilkan efek samping terhadap beberapa sektor, utamanya lingkungan dan sosial.
“Energi terbarukan tentu berperan penting untuk menjamin keamanan atas akses energi yang berkelanjutan. Walaupun memiliki dampak baik bagi keberlangsungan lingkungan dan keadilan sosial, kedua sektor tersebut masih harus menghadapi sisi negatif dari pengembangan energi terbarukan. Dengan perlunya penggunaan lahan yang sangat luas, seringkali terdapat tumpang tindih atas kebutuhan pertanian, perumahan dan pelestarian alam,” ujar Abidin.
Hasil kajian ini disampaikan oleh Abidin dalam agenda konferensi internasional di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) pada Kamis (22/8), yang bertajuk UMYGrace. Menjadi agenda konferensi khusus bagi mahasiswa sarjana dan pascasarjana, UMYGrace menyasar isu energi terbarukan yang berkelanjutan bagi pelestarian lingkungan. Abidin pun menjelaskan bahwa selain menggunakan lahan, energi terbarukan yang berbasis energi air pun berdampak pada lingkungan dengan mengubah arus air dan memengaruhi ekosistem kehidupan hingga ketersediaan air.
“Sudah terdapat beberapa contoh atas efek samping dari proyek energi terbarukan, seperti PLTA di Laos yang mengarah kepada perubahan signifikan dalam penggunaan air dan lahan yang mempengaruhi keanekaragaman hayati di sana. Fenomena di Taiwan pun dapat menjadi perhatian atas pembangunan fasilitas energi terbarukan yang dapat menjadi ancaman bagi keanekaragaman hayati, dimana migrasi burung di sana menjadi terganggu akibat pembangunan ladang turbin angin,” imbuhnya.
Dosen sekaligus peneliti dari Universiti Malaysia Perlis ini tetap optimis jika tantangan atas eneregi terbarukan khususnya di sektor lingkungan dapat teratasi, utamanya dengan memanfaatkan inovasi teknologi untuk meminimalisir dampak negatif. Ia juga menegaskan bahwa kebijakan dari pemangku kepentingan jadi awal pencegahan kerusakan lingkungan, yang juga disampaikan oleh Guru Besar UMY, Prof. Faris Al-Fadhat, Ph.D.
Adanya konferensi antar para pemimpin dunia dianggap sebagai bentuk kolaborasi negara-negara dunia dalam memitigasi perubahan iklim dengan penggunaan energi terbarukan. Faris menyebutkan bahwa seluruh negara telah sepakat untuk mencapai emisi nol bersih pada tahun 2050, salah satunya melalui transisi energi dari energi berbahan bakar fosil menjadi energi terbarukan.
“Indonesia ikut andil dalam konferensi yang dihadiri oleh 197 negara ini. Walaupun tata kelola iklim di sistem pemerintahan kita masih belum kuat, masih dapat ditopang oleh korporasi Indonesia yang bertaraf internasional, yang semenjak dua dekade lalu mulai berfokus kepada investasi energi hijau. Caranya, dengan menghubungkan berbagai proyek dengan tujuan berkelanjutan serta mengurangi emisi karbon yang menjadi permintaan pasar global. Ini menjadi peluang kolaborasi antara pemerintah dengan sektor privat,” ungkap Faris.
UMYGrace menjadi sarana bagi UMY dalam menangani permasalahan sekaligus merangkum kebutuhan mendesak akan kemajuan yang berkelanjutan. Berhasil mengumpulkan lebih dari 220 artikel ilmiah dari mahasiswa di 22 negara, UMYGrace yang memasuki tahun kelimanya berperan sebagai penyeimbang gagasan antara pelestarian lingkungan dan inovasi teknologi. Selain itu juga menyoroti pentingnya pemanfaatan teknologi mutakhir untuk solusi yang ramah lingkungan. (ID)