Berita

8TH ISCOHI UMY Kembali Diadakan secara Luring

Persoalan yang berkaitan dengan isu kemanusiaan di kancah global masih saja terjadi, terlebih di tengah era disrupsi digital bahkan Pandemi Covid-19 saat ini. Berlatar belakang persoalan tersebut, Program Magister Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (MIHI UMY) mengadakan International Conference on Humanity Issues (ISCOHI) yang ke-8 kalinya dengan tema “TRIPLE DISRUPTION: OPPORTUNITIES AND CHALLENGES FOR INTERNATIONAL RELATIONS DISCOURSE (Digitalization and National Security, Climate Change Problem Solving, Pandemics and New Model Diplomacy)”. Konferensi internasional ini diadakan pada hari Sabtu (23/7) di Gedung Pascasarjana UMY, Bantul, Yogyakarta. Beberapa narasumber yang turut hadir mendiskusikan pada konferensi ini diantaranya H.E. Yuyun Wahyuningrum, M.A (Wakil Indonesia untuk Komisi HAM Antarpemerintah ASEAN (AICHR) Periode 2022-2024), Dr. Raed Yehya Jabari (Dosen Palestina) dan Dr. Nur Azizah, M.Si (Dosen Ilmu Hubungan Internasional UMY).

Dr. Ahmad Sahide, S.IP.,MA., Kepala Prodi Magister Ilmu Hubungan Internasional UMY menyatakan bahwa 8th ISCOHI tahun 2022 ini pertama kali diadakan secara luring setelah dua tahun diadakan secara daring menyeluruh selama pandemi Covid-19. ”Partisipan untuk ISCOHI tahun ini terdapat lebih dari 10 Universitas, dan 26 paper dari 46 presenter. Selain itu, Kami juga mengundang para peneliti dan akademisi untuk ikut serta dalam acara konferensi ini untuk dapat berbagi temuan yang berkaitan dengan isu-isu yang terkait yaitu isu kemanusiaan,” paparnya.

Pada diskusi konferensi kali ini lebih pada membahas beberapa isu kemanusiaan yang terjadi di berbagai negara, salah satunya adalah Negara Myanmar. H.E. Yuyun Wahyuningrum, M.A, Wakil Indonesia untuk Komisi HAM Antarpemerintah ASEAN (AICHR) Periode 2022-2024 menyatakan bahwa konflik yang terjadi di Myanmar disebabkan adanya krisis politik dan berdampak pada pelanggaran-pelanggaran HAM yang dialami oleh penduduk Myanmar. ”Beberapa pelanggaran HAM yang dialami oleh masyarakat Myanmar diantaranya adalah tindakan persekusi, penghilangan paksa, penyiksaan, pelecehan seksual bagi tahanan perempuan, penahanan yang sewenang-wenang, membunuh para pendemo, adanya pelanggaran kebebasan pers, serta pembatasan akses informasi dan digital,” jabarnya.

Yuyun juga menambahkan bahwa ASEAN memliki peran dalam menyelesaikan konflik tersebut diantaranya melalui lima poin konsensus. ”Melihat fenomena tersebut, ASEAN memiliki peran untuk tercapainya konsensus tentang upaya mengembalikan demokrasi kembali ke jalurnya harus ditempuh dengan kemauan, kepentingan, dan suara rakyat Myanmar. Terdapat 5 poin konsensus yang dilakukan oleh ASEAN diantaranya adalah Penghentian Kekerasan, melakukan Dialog, mengutus Utusan Ketua ASEAN untuk Myanmar, memberikan bantuan Kemanusiaan, Kunjungan ke Myanmar bagi Ketua ASEAN, ASG (surat-surat terbuka yang berisikan tentang keadilan sosial di dunia, red) dan kunjungan utusan ke Myanmar,” tambahnya.

Selain membahas isu konflik negara yang menyebabkan pelanggaran HAM di Myanmar, Dr. Nur Azizah, M.Si, Dosen Ilmu Hubungan Internasional UMY menegaskan pentingnya membahas isu perempuan untuk kebijakan luar negeri. ”Temuan yang saya teliti mengungkapkan bahwa Indonesia menempatkan isu pemberdayaan perempuan sebagai isu prioritas dalam kebijakan luar negerinya, yang merupakan strategi efektif untuk menunjukkan identitas Indonesia sebagai negara mayoritas Muslim yang modern, demokratis, dan selalu menghormati hak-hak perempuan,” tutupnya. (Sofia)