Berita

Respon Uni Eropa Terhadap Gelombang Krisis Migran Suriah

IMG_9955 (1)

Beberapa minggu belakangan ini, krisis migran dari berbagai negara Timur Tengah yang berpindah ke Eropa menjadi isu yang hangat untuk diperbincangkan. Krisis tersebut terjadi akibat datangnya hampir satu juta pencari suaka (asylum seekers.,red) dari berbagai Negara yang sedang mengalami konflik seperti di Suriah, Afganistan, Libya, dan Irak ke Negara-negara Eropa. Diperkirakan gelombang migran akan terus berlanjut seiring dengan belum menentunya kondisi keamanan negara-negara di Timur Tengah akibat krisis politik dan juga ancaman keamanan.

        Krisis migran yang terjadi saat ini, sebenarnya berdasarkan data UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees) telah berlangsung sejak tahun 2014. Jumlah pencari suaka pada tahun 2014 lebih besar 1,5x lipat dari jumlah tahun 2013. Hal ini diakibatkan kondisi ketidakstabilan di Suriah, maupun di negara-negara Timur Tengah lainnya. Kenaikan jumlah pencari suaka pada tahun 2014 sebesar 24% yaitu sejumlah 216.300 orang. Sedangkan pada tahun 2015 meningkat tajam hingga 5 kali lipat.

        Dosen Hubungan Internasional, Sugito, S.IP, M.Si, menyampaikan hal tersebut dalam forum diskusi Ilmiah yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Perdamaian dan Humaniter Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) yang berlangsung di ruang sidang Fisipol pada Kamis, (15/10). Dalam pemaparannya, Sugito menjelaskan, pada awal mula pembentukan Uni Eropa memang tidak didesain untuk menghadapi permasalahan migrasi seperti yang terjadi saat ini. “Mekanisme Uni Eropa dalam menghadapi permasalahan migrasi baru benar-benar dijalankan ketika muncul Traktat Maastricht 1993 yang juga menjadi dasar hukum berdirinya Uni Eropa. Salah satu pilar kerjasama baru yang muncul dari traktat tersebut adalah kerjasama yang dalam menghadapi permasalahan suaka yang tidak mengikat seluruh anggota Uni Eropa,” paparnya.

            Terkait dengan permasalahan migran saat ini, Sugito menjelaskan, sikap Uni Eropa dalam merespon gelombang migran tersebut, terjadi pertentangan diantara negara-negara anggota. Pertentangan tersebut terkait dengan kebijakan kuota pengungsi antar negara dan juga beberapa penolakan oleh negara-negara anggota seperti Hungaria, Polandia, Swedia, Denmark, dan juga Slovakia. “Dari beberapa negara yang menolak para imigran tersebut, Jerman menjadi negara terbesar penerima gelombang migrasi hingga 5 kali lipat dari perkiraan sebelumnya,”jelasnya.

            Sugito kembali menjelaskan, selain adanya imigran memberi dampak bagi krisis kemanusiaan, di satu sisi juga memberi berkah bagi kemakmuran negara-negara Eropa, terutama negara pemberi suaka. Berkah ini akan didapat dalam jangka panjang terkait dengan pemenuhan rasio ketenagakerjaan dimasing-masing negara dan juga penerimaan pajak. Jika mengambil contoh negara Jerman yang merupakan negara pemberi suaka terbanyak, Jerman telah belajar dari masa lalu saat terjadi migrasi secara besar-besaran pada tahun 1950-an. “Saat terjadi migrasi besar-besaran tersebut, Jerman mampu mendongkrak perekonomian. Kondisi ini disebabkan karena seperlima penduduk di Jerman di atas usia 65 tahun, pertambahan penduduk serta populasi produktif sangat rendah. Akan tetapi lowongan pekerjaan cukup tinggi, sehingga Jerman mengalami kekurangan tenaga kerja,”ungkapnya.

            Meskipun Jerman telah memikirkan investasi jangka panjang, namun menerima para imigran secara besar-besaran tersebut sangat riskan. Potensi tenaga kerja terkait dengan latarbelakang sosial dan ketrampilan migran masih dipertanyakan. Apabila mereka mampu cepat beradaptasi secara sosial dan mudah terserap dalam lapangan pekerjaan, maka akan menguntungkan gerak aktivitas ekonomi Jerman. Namun apabila sebaliknya, maka justru akan menyebabkan permasalahan sosial. “Potensi akan menjadi permasalahan sosial semakin besar mengingat para imigran di Eropa karena mendapat tekanan di negara asalnya, sehingga besar kemungkinan tidak memiliki kemampuan yang memadai,” jelas Sugito.

           Sementara itu, Masyitoh Annisa Alkatiri, MA mengatakan, krisis pengungsi di Eropa terjadi karena adanya faktor keamanan yang tidak kunjung tercapai disebabkan perang saudara terus terjadi di negara tersebut. Banyaknya pengungsi yang menjadi korban dalam upaya migrasi besar-besaran dari negara mereka yang berdampak peperangan ke negara yang menurut mereka adalah tanah pengharapan. “Krisis terjadi karena adanya negara gagal yang tidak dapat memenuhi keinginan rakyat. Rakyat merasa ditekan, adanya ancaman keamanan dan kematian. Sehingga krisis imigran akan terus terjadi jika akar permasalahan tidak terpotong,” ungkap lulusan S2 Internastional Security Birmingham University, UK.

        Masyitoh menambahkan, krisis migrant akan menjadi tantangan bagi Eropa atau bahkan dapat memperpecah Uni Eropa. Kondisi saat ini adalah krisis yang sangat kompleks dan terburuk setelah perang dunia kedua. Krisis migran yang menimpa Eropa merupakan buah dari ketidaknyamanan dan ketidakstabilan negara-negara Timur Tengah. “Untuk menangani krisis migran di Eropa, harus ada kerjasama yang baik dalam kerjasama Uni Eropa. Penolakan dan penerimaan migran juga sangat terkait dengan pertimbangan ekonomi dan dampak sosial bagi negara-negara anggota,” jelasnya