Perkembangan perfilman di Indonesia saat ini dapat dikatakan sudah sangat kontemporer. Bahkan film Indonesia sudah bisa melebar hingga ke ranah animasi. Sekalipun Indonesia masih belum memiliki karya film animasi yang banyak, tapi Indonesia memiliki potensi untuk bisa mengangkat dunia perfilman Indonesia hingga ke tingkat internasional. Namun, untuk mewujudkan hal tersebut para sineas film harus membuat film Indonesia yang inovatif, baru dan berbeda. Tak hanya itu saja, film Indonesia juga harus menarik, inspiratif dan memiliki identitas ke-Indonesiaan.
Demikian benang merah pada seminar Metamormovies yang bertemakan “Mengisi Perkembangan Per-filman Tanah Air” pada hari Rabu (21/10) di gedung AR. Facruddin B lantai 5 Kampus Terpadu Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Seminar yang diselenggarakan oleh Korps Mahasiswa Komunikasi (KOMAKOM) UMY ini menghadirkan dua sineas perfilman Indonesia, yakni Hanung Bramantyo dan Aryanto Yuliawan.
Hanung Bramantyo selaku Sutradara dan Produser ternama Indonesia mengatakan bahwa, sebuah realitas itu terbentuk oleh siapa pengusanya dan pengendali dari kamera. “Seperti halnya Jokowi dan Ahok yang mereka menggunakan sebuah kamera sampai akhirnya dikatakan pecintraan. Sebuah film itu pasti membentuk sebuah realitas, tidak ada film yang objektif, objektifitas hanya ada dalam jurnalisme. Sebuah film pasti ada jagoan dan musuh dan semuanya itu hitam putih dan tidak semua itu saklek pasti ada unsur-unsur lainnya. Orang yang memiliki peran itu mencipatakan sebuah realitas, dalam film ya sang creatornya. Hanya ada 2 kemungkinan shut down atau bikin film tandingan, kalau saya lebih memilih menciptakan realitas sendiri,“ terangnya saat mengisi seminar Metamormovies dengan tema “Mengisi Perkembangan Per-filman Tanah Air” pada hari Rabu (21/10) di AR. Fachrudin B Lt.5 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Untuk itu perlu adanya sebuah inovasi yang baru untuk membuat sebuah film yang dapat dikategorikan film yang menarik dan inspiratif. “Sesuatu yang baru dan beda pasti akan menginspirasi. Buatlah tampilan yang berbeda, plot yang berbeda, resolusi yang berbeda, dan cerita yang berbeda. Misal dengan film yang genrenya love story pasti kalian sudah tahu. Tapi, buatlah film dengan genre yang sama tapi dengan cerita, plot, dan tampilan yang berbeda itu akan membuat sangat menarik. Penawaran film yang baru akan digandrungi oleh penonton, karena pada dasarnya orang itu haus akan cerita, ini akan menjadi sebuah peluang. Seorang sutradara itu harus kreatif, dan orang kreatif adalah orang yang berani keluar dari zona aman. Selain itu film Indonesia ini harus punya Indentitas, karena kebanyakan film Indonesia mangacu pada film-film holywood, sebetulnya tidak ada masalah tapi dalam film itu harus ada identitasnya, “ jelas Hanung.
Hanung melanjutkan, sebuah film yang bagus tidak akan banyak penontonnya jika tidak menentukan target penontonnya terlebih dulu. “Film yang bagus tapi kalau tidak di pasarkan ya sama aja, film yang bagus adalah film yang sudah diketahui siapa target penontonnya. Inilah tugas produser yang harus mengemas barang dengan cara menarik kemudian dijual. Misalnya kita membuat film sekuler nggak mungkin kita jual ke orang-orang Amerika pasti enggak akan laku. Jadi, membidik pasar itu sangat penting, buatlah siapa target pasarmu sebelum membuat sebuah film. Karena sejatinya, penonton itu sudah sangat cerdas, bahkan penonton sudah tahu ketika melihat posternya bahkan sudah bisa menebaknya. Jadi, sutradara yang berhasil itu adalah sutradara yang berani mengulik rasa sok tahunya penonton,“ tegasnya.
Sementara itu, menurut Aryanto Yuliawan selaku Sutradara Battle of Surabaya (BOS), perkembangan film di Indonesia ini bahkan sudah melebar ke ranah animasi, meskipun Indonesia ini tidak memiliki film animasi yang banyak tapi, Indonesia memiliki potensi. “Secara umum, masih jarang adanya pembuatan animasi di Indonesia, karena masih kurangnya Support dalam segi peralatan. Namun, dalam segi sumber daya manusianya Indonesia ini memiliki potensi yang sangat besar. Banyak orang-orang Indonesia yang direkrut oleh perusahaan animasi di luar negri, ini menjadi nilai plus bagi kita khususnya para animator-animator di Indonesia. Tentu hal ini tidak terlepas dari peran pemerintah, sebenarnya ada 3 regulasi yang menjadi sebuah PR untuk pemerintah yaitu terkait dengan funding, pajak, dan kuota. Masih sedikit sekali jumlah film animasi di Indonesia yang dibuat, jadi ini harus terus ditingkatkan,“ jelasnya.
Jika melihat pasar, lanjutnya, pembuatan BOS ini bukan hanya memasuki pasar nasional tapi juga internasional. Bahkan BOS ini akan tayang di maskapai penerbangan Garuda Indonesia jadi konteksnya memang sudah beda. “Karena potensi yang besar tapi supportnya yang masih kurang perlu adanya dukungan dari beberapa stakeholder seperti, industri perfilman. Namun, banyaknya animator yang berkarya secara underground yang bebas pajak, jadi sebenarnya tidak harus atas nama company tapi individu juga bisa, dan hasilnya juga lumayan. Pemerintah juga perlu mengangkat para animator ini untuk bisa berkarya dan meningkatkan film animasi Indonesia. Bahkan BOS ini mendapat banyak kritikan misalnya, drai segi karakter kartun yang mirip animasi jepang, kenapa tidak buat karakter Indonesia. Sekarang pertanyaannya karakter animasi Indonesia itu seperti apa? Nah inilah yang harusnya bisa menjadi jalan bagi para animator Indonesia untuk membuat karakter animasi Indonesia, “ lanjutnya.
Aryanto juga mengatakan, film animasi hollywood atau Jepang tidak perlu ditanyakan lagi, kualitas mereka dari segi teknologi dan karakter sangat bagus. “Sebetulnya ada alasan kenapa film BOS itu 2D karena, memang target pasar kita adalah penggemar animasi 2D, maka gaya karakter pada BOS berbeda misalnya, dalam karakter design dan suara Dolby. Jadi gabungan dari holywood, Jepang, dan untuk backgroundnya Indonesia. Indonesia sendiri pun sebenarnya mampu, namun dalam segi teknologi dan budget memang sangat terbatas. Jadi sangat sedikit sekali film animasi Indonesia yang memiliki kualitas bagus,“ terangnya.
Aryanto pun sependapat dengan Hanung bahwa film adalah alat yang bisa mengkonstruksi realitas dan realitas itu diciptakan oleh sineas dan filmmakernya. “Karena itu, buatlah film yang inovatif dan berbeda. Dalam membuat film tentunya harus ada identitasnya, identitasnya harus jelas dan kontemporer, dan keluarlah dari zona aman. Dan teruslah berkarya untuk menghasilkan sebuah inovatif yang baru dan berbeda,“ tutupnya.