Fenomena reshuffle dalam kabinet Kementrian RI baru, lazim terjadi di sistem Pemerintahan Indonesia pasca reformasi. Perubahan kabinet, dalam Kabinet Kerja Jokowi telah beberapa kali terjadi, hal tersebut menjadi sesuatu yang wajar terjadi jika dalam sistem kerja seorang menteri tidak sesuai dengan harapan Presiden, karena utamanya seorang menteri merupakan pembantu presiden. Dan salah satu penyebab dari reshuffle tersebut dikarenakan buruknya kompetensi yang dimiliki oleh seorang menteri, dan kekurangan dukungan politik dalam parlemen. Hal tersebut diungkapkan Eko Priyo Purnomo, M.Res, Ph.D, selaku pakar Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) dalam diskusi terbatas yang diselenggarakan pada Rabu (4/11) di Gedung Pasca Sarjana UMY.
Dijelaskan Eko, kecendrungan reshuffle yang kerap terjadi di Indonesia, khususnya pada sistem Kabinet Kerja Jokowi, dilihat dari sudut kompetensi yang dimiliki oleh seorang menteri. Jika menteri tersebut buruk dalam memimpin dan mengambil sebuah keputusan, maka reshuffle perlu dilakukan dan hal ini demi mendukung kemajuan Indonesia. Performa seorang menteri ketika sedang melakukan tugasnya sudah sepatutnya profesional dan juga berkompetensi dalam bidangnya, jika seorang menteri performa dalam kepemimpinan dan kinerjanya sudah menurun dan tidak sejalan dengan visi misi Presiden, sudah sepatutnya dapat diganti.
Selain itu, dari aspek politik turut mempengaruhi seorang menteri di reshuffle, faktor tidak adanya dukungan politik di parlemen dan juga akan digantikan dengan partai politik lainnya, turut menjadi pertimbangan seorang menteri di reshuffle. “Jika kinerja seorang menteri tidak cukup baik dalam menjalankan tugasnya, tidak perlu menunggu waktu lama untuk melakukan reshuffle, kebijakan tersebut wajar dilakukan oleh Presiden untuk turut membantunya dalam menjalankan roda pemerintahan, terlepas dari kompetensi, faktor dukungan politik juga turut menjadi faktor seorang menteri di reshuffle,” ungkapnya.
Selain itu, untuk mewujudkan kinerja yang baik dalam sebuah kabinet dibutuhkan koordinasi yang baik antar menteri dalam menjalankan tugasnya. Karena sejauh ini jika dilihat dari sistem kerjanya, koordinasi para menteri dalam Kabinet Kerja masih keteteran dalam menjalankan tugasnya, karena kurangnya koordinasi antar menteri. Selain dari aspek koordinasi, perbaikan dalam hal penyatuan visi misi yang sudah dicanangkan oleh presiden dalam nawacitanya sudah sepatutnya turut dilakukan juga oleh menteri-menterinya. “Dibutuhkan koordinasi yang baik bagi masing-masing kementerian dalam menjalankan tugasnya untuk membentuk suatu struktural yang utuh, terlepas dari hal tersebut, penyatuan visi misi yang dibangun oleh Presiden sudah sepatutnya turut diemban oleh para menteri. Karena sejauh ini masih ada menteri yang dalam kerjanya tidak sesuai dengan visi misi Jokowi dalam hal nawacitanya membangun bangsa,” tambah Eko.
Eko turut berpesan, seorang menteri juga dituntut untuk menunjukkan kinerja yang baik dalam kementriannya, dibutuhkan kinerja yang nyata dan kerja keras dalam memperbaiki berbagai kondisi Indonesia saat ini. Salah satu contohnya dapat dilihat dari kinerja Kementerian Kehutanan dalam menangani kasus asap yang saat ini terjadi di Indonesia. Sementara hingga saat ini dapat dilihat, keputusan dan penanggulangan yang dilakukan oleh Kementerian Kehutanan dalam menangani kasus asap tersebut terkesan lamban dan tidak ada titik kejelasan dalam penanggulangannya. “Kerja nyata, dan kerja keras seorang menteri sangat dibutuhkan Jokowi untuk memperbaiki kondisi Indonesia saat ini, seorang menteri tidak perlu melakukan pencitraan di media untuk menumbuhkan kepercayaan publik, karena yang dibutuhkan oleh masyarakat saat ini adalah kerja nyata seorang menteri dalam membangun dan memperbaiki kondisi Indonesia saat ini,”tutupnya. (Adam)