Sebuah kebanggan yang tak terkira bagi kedua mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) yaitu, Aisyah Mumary Songbatumis dan Aristianto karena bisa memamerkan hasil penelitiannya dalam acara 13th Asia TEFL International Conference (Creating the Future for ELT in Asia: Opportunities and Directions). Selain itu, keduanya pun menjadi sumber motivasi bagi peserta-peserta lain dalam konferensei tersebut. Hal ini dikarenakan, usia mereka yang masih tergolong muda diantara peserta lainnya dan menjadi satu-satunya peserta konferensi yang berasal dari kalangan mahasiswa S1.
“Conference yang dilaksanakan di Nanjing International Youth Cultural Center, Nanjing, China ini berlangsung selama 3 hari yaitu 6 hingga 8 November 2015. Sesampainya di sana kami sangat kaget, karena ternyata peserta yang ikut adalah dosen, mahasiswa S2, doktor, dan guru. Jadi dari sekian banyak peserta hanya kita saja yang mahasiswa S1. Alhamdulillah mereka sangat antusias, bahkan kami mendapatkan apresiasi yang sangat tinggi dari peserta, juri, dan moderator di sana. Bahkan selesai kita melakukan presentasi para peserta banyak yang berdiri dan minta foto. Mereka mengatakan ingin memotivasi mahasiswanya agar bisa seperti kami,“ jelas Aisyah senang, saat ditemui di BHP UMY pada Jum’at (20/11).
Dua Mahasiswa yang masih terdaftar menjadi mahasiswa semester 5 Pendidikan Bahasa Inggris (PBI) ini memaparkan bahwa, awal mulanya mereka hanya mencoba-coba saja untuk ikut dalam call for paper tersebut. Akhirnya mereka mencoba membuat jurnal dan meneliti tentang Intercultural Awareness dalam Belajar Bahasa Inggris. “Alasan kami memilih itu, sebenarnya berdasarkan pengalaman sendiri saat kita belajar bahasa inggris. Akhirnya, masalah yang muncul adalah banyak mahasiswa yang menguasai bahasa Inggris, tetapi ketika mereka dihadapkan dengan turis mereka tidak bisa menguasai bahasa Inggris dan budayanya. Dari masalah tersebut kita mengambil kesimpulan bahwa, ada kelemahan atau minimnya penguasaan budaya kita terhadap lawan bicara kita saat menggunakan bahasa Inggris,“ papar Aisyah.
Karena itulah, keduanya mengambil judul “Reinforcing Intercultural Awareness through Classifying Cultural Types and Advantages” dalam paper yang diajukan. “Kami berifikir bahwa perlu adanya pemahaman budaya yang harus diajarkan dalam bahasa inggris, karena ini menjadi sangat penting. Dalam proses penelitiannya kami mewawancarai beberapa student exchange yang ke luar negeri ataupun mahasiswa asing yang sedang belajar di Indonesia. Dengan metode kualitatif, akhirnya menghasilkan enam tipe budaya yang sering terjadi ketika seseorang berkomunikasi dengan orang lain yang berasal dari luar negeri, antara lain, language experience, daily interactions, local culture, behaviors, attitude and norms, dan academic, “ lanjutnya.
Aristianto menambahkan, dari hasil penelitian tersebut keduanya mendapati bahwa sebenarnya ketika seseorang berkomunikasi dengan menggunakan bahasa inggris disertai pemahaman akan budaya lawan bicaranya, akan sangat bermanfaat bagi seseorang. Karena dengan begitu mereka akan memiliki pemahaman terkait keragaman (understanding diversity), pengembangan diri (personal enrichment), bahkan dapat pula meningkatkan prestasi akademiknya (academic acievement), kemampuan berkomunikasi (improving communication ability), mencerminkan budaya seseorang (reflection one’s culture) dan dapat mengurangi konflik budaya yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari (decreasing culture conflict in daily activity). “Presentasi yang berlangsung selama 20 menit ini menjadi lama karena banyak pertanyaan dari para peserta. Tapi pertanyaan yang muncul lebih kepada seperti apa pendidikan di Indonesia, di samping ada juga yang menanyakan tentang penelitian yang kami lakukan, akan tetapi pertanyaannya tidak begitu sulit,“ jelasnya.
Setelah mengikuti kegiatan tersebut, Aris juga mengungkapkan bahwa mereka merasakan pengalaman yang luar biasa, karena banyak hal yang ditemui. “Setelah pulang dari sana, kami berdua jadi semangat berkarya lagi. Kami bangga bisa berkontribusi dan memberikan ide kita tentang dunia pendidikan. Sebetulnya peserta yang ikut bukan hanya dari jurusan pendidikan bahasa inggris saja tetapi berbagai jurusan yang peduli dengan dunia pendidikan,“ terangnya.
Keduanya pun berharap agar lebih banyak lagi mahasiswa yang termotivasi untuk terus berkarya dan berkontribusi untuk dunia pendidikan. “Saat ini kami juga sudah mulai merancang penelitian lagi untuk ikut tahun depan. Jadi, berikan manfaat kepada orang lain meskipun itu dalam lingkup yang kecil,“ harap Aris. (Ica)