Berita

Pemerintah Daerah Perlu Benahi Tata Kelola Kepemerintahannya

SAM_3872

Kepemerintahan di Indonesia, khususnya pemerintah daerah perlu membenahi tata kelola kepemerintahannya. Hal ini dikarenakan pemerintah daerah masih mengalami permasalahan sosial, politik, ekonomi, maupun tata pemerintah yang kurang baik. Meskipun pemilu di tahun 2014 menjanjikan perubahan struktural dalam kehidupan politik di Indonesia melalui pemilihan legislatif, pemilihan kepala daerah, hingga pemilihan presiden maupun wakil presiden secara langsung. Akan tetapi, ketidakberesan pengaturan publik masih banyak terjadi. Beragam permasalahan pemerintahan seperti tidak kunjung pulihnya kondisi politik, ekonomi, dan kinerja pemerintah, menyebabkan rakyat ikut terbebani akibat dari meningkatnya permasalahan sosial maupun politik. Akhirnya, masyarakat pun merasa tidak percara kepada pejabat-pejabat politik, terutama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

“Permasalahan di masa lalu yang tidak terselesaikan, mengakibatkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap aktor kepemerintahan setelahnya. Terlebih Indonesia sudah banyak mengeluarkan anggaran untuk kemajuan pemerintah, namun hasil belum seperti yang diharapkan,” ujar Bambang Eka Cahya Widodo, S.IP, M.Si., selaku salah satu pembicara dalam Focus Group Discussion (FGD) Indonesia Politics Outlook 2016 yang diselenggarakan pada Senin siang, (21/12) di gedung AR Fachruddin A lantai 5 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Hal senada juga diungkapkan oleh Dr. Titin Purwaningsih, S.IP, M.Si, dosen Ilmu Pemerintahan (IP) UMY yang mengungkapkan bahwa, terkait tata kelola pemerintahan, hasil survei tentang indeks government Indonesia menunjukkan bahwa tingkat kesenjangan kemiskinan di kota ternyata sangat tinggi. “Tahun lalu, (2014, red) kota Yogyakarta memiliki indeks kesenjangan sosial paling tinggi yang mana indeksnya 6,5 persen. Sedangkan terendah terletak di Maluku yaitu sekitar 3 persen. Kesenjangan yang sangat tinggi antara jawa dan luar jawa. Kondisi seperti inilah yang harus ditinjau kembali oleh pemerintah untuk meningkatkan performan pemerintahannya,”ujarnya.

Titin kembali mengungkapkan, jika dilihat dari angka partisipasi, semakin tinggi partisipasi masyarakat maka semakin tinggi indeks tata kelola kepemerintahan, baik birokrasi maupun para pejabat politik. Terlebih dalam penyelenggaraan tata kelola pemerintahan yang paling dominan sebagai aktor adalah pejabat politik. “Pejabat politik menjadi aktor yang dominan, yaitu 35 persen dalam pengelolaan pemerintah, birokrasi 27 persen, masyarakat sipil 22 persen, serta masyarakat ekonomi 16 persen,” ungkapnya.

Hal yang perlu diperhatikan dalam tata kelola kepemerintahan, Titin menambahkan, yaitu terkait permasalahan-permasalahan yang harus dihadapi kedepan seperti kelangkaan sumber daya alam, menghadapi kemarau panjang, serta banjir. Inilah yang harus diperhatikan terkait permasalahan dalam kesediaan pangan. Disisi lain yaitu permasalahan sosial terkait indeks korupsi yang terus meningkat. “Pemerintah harus mencermati lebih dalam lagi terkait pengelolaan pemerintahan terkait permasalahan-permasalahan bencana alam, maupun bencana sosial, seperti korupsi,” harapnya.

Hal serupa juga diungkapkan oleh Ane Permatasari, S.IP, M.Si., yang mengatakan bahwa pemerintah terlihat masih kesulitan dalam penanganan kesenjangan sosial. Seperti yang dicontohkan oleh Ane terkait fenomena kesenjangan ekonomi di DIY. “Pendapatan per kapita di DIY mengalami peningkatan, namun kesenjangan ekonomi di DIY juga ikut meningkat. Terbukti dana yang telah diberikan sebesar 4 triliun ternyata yang bisa digunakan untuk pengurangan kemiskinan hanya 0.08 persen kemiskinan di DIY,” jelas Ane.

Selain itu, Ane juga mengungkapkan terdapat masalah yang terjadi sejak tahun 2000 yaitu terkait masalah perempuan dan anak yang menjadi perhatian besar. Politik kadang hanya berbicara kekinian, seharusnya politik harus membicarakan kedepannya. Contoh peraturan daerah (PERDA) yang belum terealisasikan yaitu masalah perempuan dan anak terkait pemberian ASI eksklusif. “Terkait ASI esklusif belum diimplementasikan pada PERDA. Kita bisa melihat bahwa di DIY angka gisi buruk semakin tinggi. Di seluruh DIY, angka gizi buruk yang tertinggi ada di daerah Tempel, Sleman. Seharusnya menjadi perhatian bahwa, perempuan dan anak-anak merupakan kelompok-kelompok rentan yang harus dilindungi bukan hanya sekedar menghasilkan UU tapi tidak terlaksana secara optimal,”ungkapnya.

Selanjutnya permasalahan yang masih pelik di DIY yaitu adanya peningkatan kasus penceraian yang cukup signifikan. “Ada fenomena kekerasan di balik kasus perceraian, bahkan di DIY sendiri. Selain itu angka putus sekolah cukup tinggi di berbagai kabupaten di DIY, dan juga angka pernikahan dini. Selain itu masalah kenakalan remaja, berdasarkan penelitian psikologi, anak merokok karena orang tua juga perokok. Bahkan di DIY perokok ada yang berumur 5 tahun,” jelas Ane.

Terkait penjelasan tersebut dalam FGD yang dihadiri oleh Ketua DPRD DIY Dharma Setiawan, Arif Noor Hartanto selaku wakil ketua DPRD DIY, serta DPD RI, Afnan Hadikusumo, dan juga para akademisi dan praktisi di daerah pelaksana, Ane mengharapkan agar dalam forum diskusi ini menjawab persoalan yang masih terjadi di Indonesia, khususnya di DIY. (hevi)