Berita

Modernisasi China Tidak Bisa Menyamai Modernisasi Amerika Serikat

Prof. MartinProses Negeri Tirai Bambu untuk menjadi negara yang modernis rupanya tidak bisa menyamai proses modernisasi Amerika Serikat. Bahkan sekalipun dilihat dari segala sisi, Cina belum mampu menyamai tingkat modernisasi Amerika Serikat. Salah satunya dari segi ekonomi, walau secara GDP (Gross Domestic Product) Cina lebih unggul daripada Amerika, namun pendapatan perkapita masyarakatnya masih lebih tinggi Amerika daripada Cina.

Demikian disampaikan oleh Prof. Martin Griffiths dari Flinders University, Australia, saat menjadi keynote speaker pada acara International Conference on Social Politics (ICSP) 2016. Acara yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIPOL) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) bekerjasama dengan Asia Pacific Society For Public Affairs (APSPA), pada Selasa (26/1) di Ruang Sidang AR. Fachruddin B lantai 5 Kampus Terpadu UMY ini juga dihadiri oleh Dr. Muhammad Zaki bin Ahmad dari Universiti Utara Malaysia, dan Prof. Tulus Warsito dari UMY sebagai keynote speaker.

Menurut Prof. Martin, perkembangan ekonomi di Cina selama dua dekade terakhir mendorong terjadinya urbanisasi sebanyak 60 persen. Namun urbanisasi tersebut menyebabkan tiga masalah besar pada negara Cina sendiri. “Masalah pertama adalah masalah ekonomi. Apakah mereka dapat mempertahankan pertumbuhan perekonomiannya? Karena kalau kita lihat sendiri, produk buatan Cina selalu dijual lebih murah kepada pasar. Apakah hal itu tidak justru merugikan negara itu sendiri. Masalah kedua adalah aturan kepemilikan pribadi. Ketika masyarakat Cina banyak yang berurbanisasi, tentu akan menimbulkan masalah property right (hak kepemilikian) antar penduduk kota dengan pemerintah. Sehingga masalah kebijakan pembangunan akan timbul dalam persoalan urbanisasi,” jelasnya.

Sedangkan masalah ketiga yang muncul terkait urbanisasi di Cina adalah bagaimana Cina dapat bertahan menjadi negara yang superpower. “Dengan perkembangan Cina yang ingin menjadi negara superpower, yang dipertanyakan adalah akankah mereka menjadi negara superpower yang peaceful atau non-peaceful. Dapatkah mereka menciptakan kedamaian untuk masyarakatnya ataukah tidak,” tambah Prof. Martin.

Sementara itu, keynote speaker kedua Dr. Muhammad Zaki bin Ahmad dari Universiti Utara Malaysia lebih membahas pada United Nation Conference on the Law of the Sea (UNCLOS) III dan bagaimana proses pembuatan keputusannya. “UNCLOS III sendiri merupakan konferensi PBB yang membahas kesepakatan tentang hukum laut. UNCLOS ini juga merupakan kesepakatan yang dimulai sejak tahun 1968 dan baru berakhir pada 1982 karena menggunakan sistem konsensus dan bukan voting dengan suara terbanyak,” ungkapnya. Zaki bin Ahmad juga mengungkapkan bahwa kasus dalam UNCLOS III ini dapat dianalisa dengan teori dan kacamata hubungan internasional.

Sedangkan keynote speaker ketiga yakni Prof. Tulus Warsito memaparkan tentang tantangan ilmu sosial politik dalam perubahan dunia, yakni tantangan dalam perubahan masyarakat dan tantangan dalam perubahan ilmu pengetahuan. Dalam perubahan masyarakat, saat ini masyarakat sudah menjadi lebih terbuka, tidak terbatasi, mengglobal, cepat berubah dan secara bersamaan, baru dan unik. Sedangkan dalam perubahan ilmu pengetahuan, Prof. Tulus mengungkapkan bahwa kita tidak dapat terus menerus percaya terhadap suatu teori tertentu. “Karena Teori itu dapat berubah sewaktu-waktu,” jelasnya.

Adapun acara konferensi internasional pada bidang sosial dan politik ini diselenggarakan selama tiga hari, sejak Selasa (26/1) hingga Kamis (28/1). Konferensi Internasional ini juga diikuti oleh 200 peserta dari dalam maupun luar negeri, baik dari kalangan mahasiswa S1, S2, S3, dosen, dan peneliti yang konsen pada isu sosial dan politik. Acara ini juga merupakan kontribusi positif FISIPOL UMY dalam menghadapi perubahan global dalam segi ilmu sosial. (Deansa)