Arus globalisasi memaksakan untuk harus bisa bersaing dengan negara-negara di kawasan regional Asia Tenggara. Persaingan tersebut bukan hanya melibatkan para pebisnis, namun juga melibatkan kalangan mahasiswa, terutama para sarjana yang harus siap menghadapi persaingan dalam ranah Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Terlebih para sarjana hukum juga harus mampu bersaing dengan para sarjana dari negara-negara Asia Tenggara . Gelar sarjana hukum yang didapat, tidak harus menjadi pengacara, hakim, advokat, atau hal yang berkaitan dengan hukum. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Nik Ahmad Kamal Bin Nik Mahmod saat mengisi pidato milad Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (FH UMY) yang ke-35 pada, Selasa (8/3) di Ruang Sidang AR. Fachruddin A Lantai 5.
Pidato milad FH UMY yang menghadirkan guru besar sekaligus penasehat hukum International Islamic University Malaysia (IIUM), Prof. Nik Ahmad menyampaikan bahwa jika ditelaah terkait pendidikan hukum di Asean, menurut Tan Cheng Han yang telah mengamati pendidikan hukum di Asean, saat ini Indonesia memiliki lebih dari 200 sekolah hukum dan kebanyakan sekolah tinggi dan universitas swasta. “Di Malaysia sekolah hukum hanya memiliki 6 sekolah hukum negeri dari total 10 sekolah hukum. Di samping itu, sekolah hukum dalam negeri, sarjana hukum juga datang dari sekolah hukum asing dan melayani profesi hukum di negara mereka. Seperti banyaknya pengacara Asean yang lulus dari USA, UK, Australia, Perancis, dan negara lainnya di luar Asean,” ungkapnya.
Prof. Nik Ahmad melanjutkan, pendidikan hukum merupakan suatu fenomena yang relatif baru di Vietnam, Kamboja, Laos, dan Brunei. Meskipun demikian, sekolah hukum dalam dan luar negeri telah memenuhi pengacara untuk dipraktekkan dalam industri hukum di negara-negara anggota Asean. “Dengan sistem hukum yang berbeda, sekolah-sekolah hukum di Asean mengambil pendekatan pragmatis dalam pengajaran hukum dalam negeri kepada mahasiswa mereka, sehingga mereka dapat mempraktekkannya sebagai pengacara dalam negeri di negara mereka,” jelasnya.
Dengan adanya MEA tersebut, tidak menutup kemungkinan terdapat peluang dan tantangan bagi sekolah-sekolah hukum maupun para sarjana hukum. Menurut Prof. Nik Ahmad, peluang MEA adalah dapat membuka peluang bisnis dengan cara membuka kantor advokat dengan negara-negara Asean. “Dengan dibukanya peluang kerjasama dalam membangun bisnis, memberi peluang dibukanya kerjasama dengan kantor advokat di negara anggota Asean lainnya. Ini juga menjadi koraborasi kerjasama dalam kegiatan bisnis antara kantor advokat dari beberapa negara,” jelasnya.
Sedangkan keuntungan dalam perbandingan pengetahuan, Prof. Nik Ahmad menambahkan bahwa keuntungan yang didapat yaitu dapat mempersiapkan lulusan hukum dengan ilmu pengetahuan dan pengalaman, untuk mempersiapkan tantangan pasar bebas yang menghendaki operasi di Asean dan kantor advokat global.
Sementara itu, tantangan yang perlu dihadapi di sekolah-sekolah hukum dalam menjalani MEA, masih banyak dosen-dosen hukum belum mempunyai dasar dalam perbandingan hukum untuk mengajarkan mata kuliah perbandingan hukum. Seperti yang dikatakan oleh Prof. Nik Ahmad, “Pengetahuan perbandingan hukum masih rendah, sehingga dosen hukum tidak mempunyai rasa percaya diri dalam mengajarkan mata kuliah tersebut. Selain itu kurangnya referensi dalam memahami bahasa hukum juga menjadi hambatan dalam proses belajar mengajar,”katanya lagi.