Berita

Muhammadiyah Berikan Tiga Rekomendasi terkait Maraknya Kejahatan Seksual

abdul mu'ti

Maraknya isu tentang kejahatan seksual akhir-akhir ini menarik berbagai pihak untuk mengambil sikap dan bersuara, tak terkecuali bagi Muhammadiyah.

Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang ditemui selepas acara Dialog Kebangsaan dalam acara Konvensi Nasional Indonesia Berkemajuan (KNIB) pada Senin malam (23/5) di Sportorium UMY menyatakan keprihatinan Muhammadiyah akan maraknya kasus kejahatan seksual yang melibatkan anak di bawah umur.

“Kejahatan seksual ini adalah sesuatu yang memprihatinkan dan darurat, maka harus segera diambil langkah secara komperensif,” tutur Abdul Mu’ti.
Lebih lanjut, Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia menawarkan tiga rekomendasi kepada pemerintah terkait maraknya kejahatan seksual. Pertama, pemberian hukuman yang maksimum bagi pelaku kejahatan seksual berdasarkan Undang-undang. Kedua, kekerasan seringkali terjadi ketika anak-anak sendiri tanpa pegawasan, maka perlu adanya upaya preventif untuk anak-anak agar tidak menjadi korban dengan pendampingan orangtua, kesadaran orangtua terhadap perlindungan anak harus ditingkatkan. Ketiga, perlu adanya regulasi tegas kepada media, di mana banyak hal yang ditayangkan media nyaris tanpa sensor, hal itu dapat mendorong fantasi negatif siapa yang menontonnya tanpa mengurangi hak masyarakat untuk mendapat informasi.

Sementara itu ketika ditanyai pendapatnya mengenai hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual, Abdul Mu’ti menyarankan agar pemerintah tidak terburu-buru mengeluarkan regulasi tersebut, karena perlu adanya kajian yang mendalam oleh para ahli. Ia juga mengungkapkan bahwa hukuman kebiri merupakan sesuatu yang problematic.

“Hukuman kebiri itu problematik, dari sisi alasannya kenapa dibuat, kalau dibuat dengan Perpu, maka seharusnya itu dibuat karena memang keadaan yang genting dan memaksa dan juga dari sisi HAM. Kemudian juga dengan adanya kebiri tidak menjamin kejahatan seksual akan berhenti karena pelaku bisa melakukan kejahatan dalam bentuk lainnya. Memang perlu ada kajian untuk tidak terburu-buru, apalagi reaktif dan emosional,” tutup Abdul Mu’ti.
(suf)