BI Research Corner Fakultas Ekonomi dan Bisnis UMY berkolaborasi dengan beberapa organisasi mahasiswa yaitu HIMIE, KSPM, EES dan GESFID mengadakan diskusi umum bertajuk “Relaxing Monetary Policy: A New Normal” pada Sabtu (1/10). Diskusi umum ini dibuka secara resmi oleh Dr. Imamudin Yuliadi, Kepala Prodi Ilmu Ekonomi UMY. Dalam diskusi ini juga menghadirkan dua pembicara yaitu, Atilla Ghaspar dari Central European University yang merupakan dosen tamu IPIEF UMY, dan Dimas B. Wiranatakusuma, yang juga salah satu dosen IPIEF UMY.
BI Research Corner didirikan pada tahun 2016 yang dibentuk oleh BI sebagai bagian dari bentuk tanggung jawab sosial BI terhadap masyarakat. Koordinator BI Research Corner, Dimas B. Wiranatakusuma menyatakan tujuan BI Research Corner adalah mempromosikan peran Bank Indonesia dalam mengikuti Kebijakan Moneter. “Visinya yaitu untuk mempromosikan atmosfer akademik dan riset, khususnya dalam bidang kebijakan moneter makroprudensial. Atmosfer tersebut dicapai melalui diskusi intensif dan pikiran kritis diantara akademisi, praktisi, dan pembuat kebijakan. Oleh karena itu, untuk mencapai visi tersebut, misi kami dengan mengadakan diskusi akademik secara rutin, dan mempromosikan riset dan publikasi,”imbuhnya.
Diskusi ini menurut Dimas dilatarbelakangi oleh dua hal yaitu (a) Fluktuasi siklus bisnis dan (b) Penurunan rasio bank sentral. “Ekonomi bergerak naik turun berdasarkan fluktuasi siklus bisinis. Di tengah kekacauan finansial, siklus bisnis berpindah ke siklus turun yang mengindikasikan krisis yang akan datang. Selama penurunan ini, beberapa indikator seperti profit, investasi, kredit bermasalah, dan utang menunjukkan alarm yang negatif. Sebaliknya selama kenaikan, beberapa indikator mengindikasikan alarm positif, sperti rasio profit mulai meningkat,” jelasnya.
Baru-baru ini pada September 2016, BI, otoritas keuangan di Indonesia mengendurkan kebijakan moneter, lebih rendah dari rasio bank sentral. “Bunga rendah ini menandakan dua kondisi, yaitu apakah ekonomi yang berada dalam siklus penurunan atau masuk dalam kondisi normal baru. Jika ekonomi di dalam “a new normal,” berarti kebijakan mengendurkan moneter ini dimaksudkan untuk memajukan pertumbuhan ekonomi,” urai Dimas lagi.
2 hal inilah yang dikritisi oleh 2 orang panelis, Atilla Ghaspar dan Dimas B. Wiranatakusuma. Atilla mempresentasikan isu kebijakan moneter di negaranya, Hungaria. “Hungaria sebagai negara kecil cenderung tidak stabil keadaan ekonominya. Bahkan sebagai bagian dari Uni Eropa, Hungaria tergantung pada kebijakan moneternya. Oleh karena itu, mempertahankan kebijakan moneter memerlukan usaha ekstra bagi Hungaria dan membutuhkan tindakan kolaboratif dari institusi terkait,”papar Atilla.
Sementara itu, Dimas lebih menyoroti isu siklus bisnis dalam implementasi kebijakan moneter di Indonesia. “Indonesia mengalami rasio bunga rendah dalam era “New Normal”. “New normal” ini juga ditandai perilaku positif dalam fundamental makro ekonomi, seperti GDP, Rasio Inflasi, Rasio pertukaran, cadangan dan rasio bunga. “New Normal” ini merupakan kesempatan bagus bagi Indonesia untuk meningkatkan Ekonomi domestik,”imbuhnya lagi. (bagas)