Ni men hao! Tak terasa telah hampir dua bulan aku tinggal di negeri panda ini dan rasanya sekarang adalah saat yang tepat untuk memberikan kabar apa yang terjadi pada kami sebulan belakangan, sejak berpisah dari kampus UMY tercinta di tanah air sana untuk mengemban amanah belajar bahasa Mandarin di Sias International University, Republik Rakyat China (walaupun pada kenyataannya membuat newsletter memang kewajiban sebagai penerima beasiswa dan sudah seminggu belakangan ditagih sama mas Idham *hehe).
Sebelum aku tiba disini, banyak hal tentang China yang mengkhawatirkanku, apalagi dengan status diriku sebagai Muslim (maklum belum pernah keluar negeri sebelumnya). Mulai dari bagaimana melaksanakan kewajiban seperti sholat, tanggapan orang-orang di sekitar ku nantinya tentang Islam, dan yang paling utama adalah: Makanan. Mungkin pembaca tahu sendiri, babi dan segala jenis olahannya adalah salah satu unsur makanan yang tak bisa lepas dari kehidupan masyarakat China. Aku pun lantas berpikir, mungkinkah aku akan menjadi vegetarian selama di sana? Oh tidaak… Lalu kemudian yang terjadi setelah aku menjejakkan kaki di sini adalah: Alhamdulillah, Puji Syukur Kepada Allah Tuhan Semesta Alam, semua kekhawatiranku tadi berguguran satu demi satu. Kutemukan betapa mudahnya melaksanakan ibadah wajib seperti sholat disini, tak ada satupun tanggapan negatif tentang status Islam yang kami sandang, dan yang paling membuatku bahagia adalah melimpahnya makanan halal disini. Alhamdulillah.
Sebelum berangkat ke China, kami sempat ada khawatir jadwal kuliah kami akan menghalangi kami untuk sholat pada waktunya, dan Jama’ sholat pun akhirnya kami pertimbangkan sebagai solusi jika kita memang tak mampu melaksanakan sholat pada waktunya. Setelah tiba disini, ku temukan jadwal kuliah kami sama sekali tidak mengganggu waktu sholat kami. Kami kuliah setiap hari Senin sampai dengan Jum’at, dari jam 08:00 am sampai 09:50 am, lalu dilanjutkan dengan kuliah kedua pada jam 10:10 am sampai 12:00 pm, sedangkan masuk waktu Dzuhur rata-rata pada jam 12:20-12:30 pm (Xinzheng masuk wilayah GMT +8 atau sama dengan zona WITA di Indonesia, sejam lebih cepat dari Yogyakarta). Selain jam-jam tersebut adalah jadwal bebas dan di hari Sabtu dan Ahad kegiatan belajar-mengajar di kampus memang libur.
Status negara berideologi komunis sempat membuatku khawatir, mengingat agama adalah hal yang tabu bagi komunis. Namun pada kenyataannya di masyarakat China sendiri memeluk agama merupakan kebebasan yang penuh bagi setiap individu. Mau ikutan komunis silakan, mau beragama ya silakan, asal tak mengganggu dan tak merugikan pemerintah komunisnya. Begitulah kira-kira kasarnya. Sempat ada teman di Indonesia berkata bahwa sholat di China tidak memakai bahasa Arab dan memakai bahasa Mandarin (di RRC, bahasa resmi adalah bahasa China logat Beijing dan sekitarnya yang dikenal dengan Putonghua 普通话—artinya bahasa umum). Aku masih belum tahu di daerah lain bagaimana, namun saat mengikuti ibadah Jum’at di masjid terdekat dari kampus (kampus kami terletak di kota Xinzheng, Provinsi Henan), sholat kami masih menggunakan bahasa Arab walaupun memang saat khotbah bahasa yang dipakai adalah bahasa resmi negara alias Putonghua (sekedar info masjid dalam bahasa Mandarin adalah 清真寺 dibaca qinzhengsi).
Tanggapan orang-orang di sekitar tentang status kami sebagai Muslim disini tidaklah seperti yang dibayangkan sebelumnya. Mereka menghormati keyakinan kami dan dengan senang hati berteman dengan kami. Bahkan banyak yang mengatakan kepada Rizkya dan Felisma, baik itu teman-teman kami disini, para dosen, maupun masyarakat sekitar; bahwa mereka sangat cantik dengan jilbab mereka. Alhamdulillah, tanggapan yang sangat positif. Tak ada pertanyaan-pertanyaan level tinggi tentang Islam (seperti masalah terorisme mengatasnamakan Islam, dll) yang ditujukan kepada kami sejauh ini. Pertanyaan-pertanyaan yang kami terima mungkin hanya seputar mengapa Rizkya dan Felisma mengenakan jilbab dan mengapa kami tidak makan babi. Setelah dijelaskan alasannya mereka pun mengerti dan tetap ramah kepada kami seperti biasanya, serta sepertinya mereka menganggap hal-hal seperti agama dan keyakinan adalah urusan masing-masing pribadi, sehingga tak perlu dipermasalahkan lebih jauh.
Soal makanan, ternyata tak ada yang perlu ditakutkan. Sebelum berangkat, kami diperitahu oleh Pembantu Rektor I UMY kita, Pak Nafi Ananda; bahwa di dalam lingkungan kampus terdapat satu rumah makan halal. Kami diperlihatkan foto rumah makan tersebut dan pada waktu itu dengan cepat kurekam dengan baik foto tersebut dalam otakku agar saat tiba disini dengan cepat bisa aku temukan. Setelah tiba disini, ternyata rumah makan tersebut hanya selemparan batu alias sangat dekat dengan asrama kami. Hanya kurang dari semenit jalan dari depan pintu asrama (dalam kondisi normal). Gimana ga deket tuh? Setelah aku melakukan penyelidikan lebih jauh, sejauh ini aku menemukan ada 1 rumah makan dan 3 kios makanan yang insyaaLlah terjamin halalnya di dalam lingkungan kampus. Jumlah ini sepertinya bisa bertambah, karena sangat banyaknya jumlah tempat makan di dalam kampus dan banyak yang belum aku jelajahi. Kebahagiaan ini semakin bertambah dengan adanya berbagai rumah makan halal di luar kampus. Dalam radius kira-kira hanya 100 meter dari gerbang kampus, aku menemukan ada 3 rumah makan halal dan 4 kios makanan halal.
Mungkin timbul pertanyaan dari pembaca, bagaimana cara mengetahui rumah makan ataupun kios makanan tersebut menyediakan makanan halal? Begini, sebelum berangkat aku sempat mencari informasi di internet bahwa di China rumah makan halal biasanya ada tulisan arab berlafalkan ‘ta’amal musliim’ (makanan bagi muslim—mohon koreksinya, bahasa Arab saya horrible), dan ada huruf hanzi 清真 (dibaca qingzhen, artinya Islam; secara literal berarti kebenaran yang murni), dan (biasanya sih) dekorasi hijau mendominasi. Hal-hal itu benar-benar kutemui disini. Berbagai rumah makan disini biasanya dimiliki oleh suku Hui yang memang Muslim dan orang-orang Uyghur dari Xinjiang yang dikenal dengan mayoritas Muslimnya. Menurut pengamatanku, rumah-rumah makan halal seperti ini sangat ramai pengunjungnya, bahkan orang-orang non-muslim disini menjadi pengunjung mayoritas. Sempat aku utarakan keherananku ini kepada seorang teman dan jawabannya adalah tidak lain hanyalah karena mereka ingin saja makan disana. Namun di lain kesempatan aku mendapatkan informasi lain bahwa banyaknya pengunjung di berbagai tempat makan halal yang ada di China adalah karena masyarakat China pada umumnya menganggap bahwa tempat-tempat makan halal biasanya lebih bersih dari tempat-tempat makan China lain pada umumnya. Suatu hal yang membuatku tersenyum dan bersyukur mengetahuinya. Oh ya, huruf 清真 ini dapat dengan mudah ditemui, bahkan pada produk-produk makanan yang dijual di supermarket sekalipun. Biasanya aku temukan pada susu, sosis, es krim, dan berbagai makanan kemasan lain, tercantum pada kemasannya lingkaran hijau dengan huruf 清真 di dalamnya. Senang rasanya mengetahui dan menemukan hal ini. Allah memang selalu menunjukkan jalan untuk segala keraguan dan kekhawatiran yang kami miliki disini. Alhamdulillah.
Banyak yang masih ingin ku ceritakan, namun untuk kesempatan ini kiranya cukup sekian (padahal mungkin terlalu panjang dan membuat pembaca bosan di tengah jalan). Di tengah-tengah perjuangan dalam mempelajari bahasa Mandarin yang njelimet dan kadang membuat kepala ini rasanya ingin meledak, aku berharap bisa lebih sering mengirimkan kabar-kabar melalui newsletter seperti ini lebih sering lagi, insyaaLlah. J
Zaijian!
Wassalamualaikum wr. wb.
Senin, 16 Mei 2011; 16:58 (GMT +8)
*nb: saat mengetik tulisan ini, Sulaiman, teman sekamarku memergokiku dan menanyakan apa yang kuketik. Setelah kujelaskan, dengan gembira dia menyampaikan: “Assalamualaikum” yang ingin dia tujukan kepada para pembaca sekalian. J