Dalam meningkatkan pemahaman terhadap mahasiswa, Magister Ilmu Hubungan Internasioanal (MIHI) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) menyelenggarakan bedah buku. Kali ini MIHI membedah buku berjudul “Pemikiran Politik Islam dan Keamanan Asia Tenggara.” Bedah buku tersebut merupakan bentuk kontribusi dosen Hubungan Internasional untuk mendukung bahan ajar mata kuliah kepada para mahasiswa.
Ali Muhammad Ph.D selaku penulis buku yang berjudul “Keamanan Asia Tenggara” menyampaikan bahwa kondisi aman pada suatu negara bisa dilihat dari tidak adanya konflik maupun perang. Sampai saat ini keamanan atau pertahanan negara memiliki pendekatan yang realis dan sifatnya kemiliteran. “Selain bersifat kemiliteran, ada beberapa dimensi yang dilakukan suatu negara dalam mempertahankan negara itu sendiri. Hal ini bisa dilakukan seperti meningkatkan kualitas pertahanan, sosial, budaya dan ekonomi yang kemudian akan berorientasi terhadap eksistensi suatu negara. Untuk wilayah ASEAN human security kurang diprioritaskan terutama masalah HAM,” paparnya.
Ali melanjutkan, pada dasarnya ASEAN menekankan terhadap harmoni antar negara dengan prinsip diplomasi, intervensi, kedaulatan dan tanpa kekerasan. “Sehingga peran ASEAN sebetulnya sangat kurang aktif dalam memperhatikan permasalahan HAM. Sebanarnya peran keamanan pada wilayah Asia Tenggara sekarang sudah meluas sampai pada Asia Timur. Jadi saat ini Asia Tenggara sudah menjadi motor penggerak dalam meningkatkan keamanan suatu Negara,” ujar Ali saat memaparkan terkait bukunya pada Jum’at (22/9) di ruang Sidang Direktur Pasca Sarjana lantai 1 kampus terpadu UMY.
Sedangakan Dr. Surwandono dalam buku yang ditulisnya dengan judul “Pemikiran Politik Islam”, menyebutkan gagasan politik pada tatanan kekuasaan. Pada perspektif realistis, kekuasaan itu adalah bagaimana mengendalikan perilaku dan tindakan orang lain menurut kehendak yang memiliki kekuasaan. Tetapi dalam konteks Islam yang berkuasa itu sejatinya orang yang bisa mengendalikan amarah dan mengelola hatinya. “Kita perlu mengetahui negara itu merupakan sandaran tertinggi bagi warga negara. Sebagaian para ulama menyebutkan bahwa suatu negara merupakan alat untuk mecapai tujuan syariat. Di Indonesia metodelogi berfikir dalam sudut pandang Islam dibagi menjadi dua aspek yaitu dari aspek madzhab Imam Syafi’i dan Imam Hambali,” jelasnya.
Madzhab Imam Syafi’i, lanjut Surwandono, menekankan dukungan terhadap pemerintah atau negara. Sedangkan Imam Hambali, cenderung kritis terhadap suatu negara, seperti yang dikatakan Ibnu Taimiyah bahwa suatu negara harus disesuaikan dengan waktu dan tempat. “Contoh Republik Islam di Pakistan yang awalnya menggunakan sistem negara (bangsa) hanya untuk sementara waktu saja dan sampai saat ini belum diamandemen. Hal ini dilakukan untuk menunggu entitas politik Islam yang global. Akan tetapi pada wilayah Paskitan tersebut dipenuhi dengan penyimpangan politik seperti kekerasan politik dan kudeta terhadap para pejabat Pakistan. Padahal pada prosesnya Pakistan telah meminjam model ketatangeraan Barat. Sedangkan di Iran bentuk pemerintahannya berpegang pada prinsip-prinsip Ketuhanan yang memiliki peran utama (teokrasi). Kemudian struktur pemerintahan Iran dilakukan oleh kepala religious, dimana politik hanya didominasi oleh segelintir elit politik saja, namun tetap saja terjadi gejolak atau penyimpangan politik yang berkepanjangan. Untuk itu buku ini merupakan suatu pengantar bagi para mahasiswa sebagai bahan ajar untuk proses perkuliahan dan menambah pemahaman serta referensi dalam meningkatkan wawasan Hubungan Internasional,” tutup Surwandono. (Sumali)