Berita

PBJ UMY Adakan Seminar Dinamika Pendidikan Perkembangan Bahasa Jepang

Interaksi budaya antara Indonesia dan Jepang sudah berlangsung sejak lama dan saat ini ada banyak sekali mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia yang mempelajari bahasa jepang. Dilihat dari jumlah peminatnya pun pembelajar bahasa Jepang di Indonesia terus meningkat, bahkan saat ini menduduki peringkat kedua setelah Cina. Namun dari keseluruhan pembelajar, jumlah tersebut masih didominasi oleh pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) dan hanya sedikit yang kemudian meneruskan ke jurusan Bahasa Jepang di perguruan tinggi.

Hal tersebut seperti disampaikan oleh Dr. Dedi Sutedi , M.A., M.Ed. selaku Dosen Pendidikan Bahasa Jepang (PBJ) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), dalam Seminar Nasional Dinamika Perkembangan Bahasa Jepang di Indonesia yang dilaksanakan di auditorium gedung KH Ibrahim E6 pada hari Sabtu (9/12) di kampus terpadu Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Seminar yang diprakarsai oleh program studi Pendidikan Bahasa Jepang (PBJ) UMY tersebut bekerjasama dengan Asosiasi Studi Pendidikan Bahasa Jepang Indonesia (ASPBJI) dan The Japan Foundation Jakarta.

Dedi menyampaikan bahwa pendidikan bahasa Jepang di Indonesia secara formal sudah berjalan selama lebih dari 50 tahun. Berawal dari pelajaran minor di SMA di wilayah Jawa Barat dan kemudian berkembang menjadi sebuah jurusan tersendiri di Universitas Padjajaran (UNPAD). Seiring perkembangannya dari tahun ke tahun ada banyak kemajuan yang tercapai, tetapi masih banyak pula masalah yang tersisa terkait metode pembelajarannya. “Dari banyaknya pembelajar bahasa Jepang, saat ini masih didominasi oleh siswa SMA. Ini menjadikan mayoritas pembelajar bahasa Jepang di Indonesia hanya mengenal bahasa jepang dan hanya sebagian kecil yang memiliki keterampilan untuk berkomunikasi dalam bahasa Jepang secara baik,” ujar Dedi yang bertindak sebagai pembicara kunci dalam seminar tersebut.

“Saat ini ada banyak perguruan tinggi yang mengajarkan bahasa Jepang, baik sebagai mata kuliah jurusan ataupun mata kuliah pilihan. Kemudian ada pula yang mendirikan program studi Bahasa jepang, umumnya perguruan tinggi di Indonesia mengarahkan peminat bahasa Jepang ke 2 jurusan yaitu Sastra atau Budaya Jepang dan Pendidikan Bahasa Jepang. Mahasiswa S1 pada masing-masing jurusan dituntut untuk memenuhi target setara dengan N3 dalam standar kemampuan tes berbahasa Jepang (Nihongo Nouryoku Shiken/JLPT) model baru. Kemudian yang menjadi problem adalah apakah mahasiswa tersebut sudah memenuhi standar yang ada atau belum?”, papar Dedi.

Dedi menyampaikan bahwa kemajuan yang saat ini dicapai dalam pembelajaran bahasa Jepang juga harus diikuti dengan penyelesaian masalah yang menyertai. “Ada beberapa permasalahan dalam pembelajaran bahasa Jepang yang terjadi, seperti tingkat pencapaian lulusan S1 yang memiliki N3 masih rendah. Hal ini disebabkan oleh kesempatan untuk mengikuti JLPT hanya tersedia 2 kali setahun, sementara ujian sidang dapat dilaksanakan setiap bulannya. Masalah juga didapati dalam mata kuliah pembelajaran keterampilan bahasa Jepang pada mahasiswa, baik dalam mempelajari Hyouki (Kanji) hingga Sakubun (menulis). Misal dalam pengajaran Hyouki, seringkali penyebabnya berasal dari metode pengajaran yang cenderung monoton dan juga kemampuan mahasiswa untuk menyerap dan memahami huruf kanji yang jumlahnya ribuan terbilang lambat,” jelas Dedi.

Dedi berpendapat permasalahan tersebut dapat diatasi secara bersama oleh pihak-pihak yang terlibat dalam proses pembelajaran, khususnya oleh para pendidik. “Ada banyak asosiasi profesi yang dimiliki oleh para pendidik bahasa Jepang, baik Gakkai Pusat, asosiasi milik guru Bahasa Jepang (MBGP-BJ), asosiasi milik Prodi Kependidikan Bahasa Jepang (FDPBJ), maupun asosiasi milik sastra dan budaya Jepang. Saya rasa masing-masing pihak dapat berkolaborasi untuk menemukan dan menciptakan solusi yang diperlukan untuk menyelasaikan permasalahan yang kita miliki,” tutup Dedi. (raditia)