Presidensi Indonesia di G20 merupakan langkah dan kesempatan emas dalam menunjukkan kepemimpinannya di politik internasional. Hal ini dikarenakan semenjak berdirinya G20 pada tahun 1999, Indonesia baru kali ini mendapatkan kesempatan untuk memimpin forum kerja sama multilateral ini. Mengingat posisi Indonesia sebagai presiden G20 memiliki beberapa proyeksi penting, Prodi Hubungan Internasional bekerjasama dengan Magister Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) adakan webinar Indonesia Outlook 2021 pada Rabu dan Kamis (29-30/12).
Kegiatan tahunan ini turut menghadirkan berbagai akademisi dan praktisi dengan mengusung tema “Peran Indonesia dalam Dunia Internasional: Sebelum dan Sesudah Kepemimpinan Indonesia pada G20”.
Pada hari pertama sesi satu, dibahas secara spesifik peran Indonesia dalam Komunitas Islam Internasional dengan menghadirkan Prof. Ahmet T. Kuru, Ph.D dari San Diego State University, Imam Shamsi Ali dari Nusantara Foundation dan Jamaica Muslim Center, dan Prof. Dr. Bambang Cipto dari UMY.
Sementara pada sesi kedua, mengkaji peran Indonesia dalam ekonomi dunia. Sesi ini turut menghadirkan Billy Wibisono, Kasatgas G20 dari Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Prof. Dr. Tulus Warsito dan Faris Al-Fadhat, Ph.D., dari UMY.
Menurut Prof. Ahmet T. Kuru dari Sandiego State University, Muslim telah mengalami krisis politik dan sosial-ekonomi beberapa dekade terakhir. Padahal, Kuru berpendapat bahwa Muslim memiliki pemikir dan pedagang berpengaruh dan mengubah dunia menuju kemajuannya dalam berbagai bidang, seperti teknologi, ilmu pengetahuan, dan kesehatan.
Ia juga menjelaskan bahwa Muslim pernah mendapatkan julukan fenomenal, yaitu golden age pada masanya. Namun demikian, kemunduran yang terjadi di dunia Islam ini diakibatkan kedekatan ulama dengan politik praktis.
Berbeda pandangan dengan Prof. Ahmet, Imam Shamsi Ali mengatakan bahwa kedekatan ulama dengan pemerintah tidak selalu negatif, buktinya Indonesia mampu membangun integrasi yang baik antara agama dan politik.
“Indonesia mampu mengawinkan, membangun integrasi antara dua sisi yang tidak proporsional dan bagaimana kita bijak dan adil dalam menempatkan sesuatu,” tutur Imam.
Di sesi yang sama Guru Besar HI UMY, Prof. Dr. Bambang Cipto., MA mengkaji persoalan bagaimana Indonesia berkomitmen membantu Afghanistan dan Rohingya. Sedang Indonesia sendiri telah memiliki hubungan diplomatik dengan Afghanistan sejak 1954. Begitu pun dengan komitmen Indonesia untuk membantu permasalahan Rohingya.
“Sama halnya dengan muslim Rohingya di Myanmar, Indonesia turut memperhatikan nasib mereka. Indonesia mengusulkan agar keamanan lebih ditingkatkan, mengurangi penggunaan kekerasan, melindungi masyarakat Rakhine, dan membuka akses bantuan kemanusiaan. Duta Besar Indonesia di Bangladesh juga telah memberikan bantuan sebanyak 54 ton kepada pengungsi Rohingya di Bangladesh,” jelas Prof. Bambang.
Peran Indonesia dalam Ekonomi Dunia
Berlanjut pada sesi kedua, Satuan Tugas (Satgas) G20 Kementerian Luar Negeri, Billy Wibosono, menjelaskan tentang persiapan dan rencana Indonesia dalam mengemban amanat kepemimpinan G20 selama satu tahun ke depan.
Billy juga menegaskan bahwa kepemimpinan Indonesia pada G20 merupakan sebuah momentum penting untuk menyelesaikan permasalahan ekonomi di tengah pandemi yang melanda dunia, termasuk Indonesia. Dalam menjalankan tampuk kepemimpinan ini, Indonesia memiliki 5 prioritas yang harus dicapai, salah satunya adalah membangun ekonomi dunia.
“Indonesia memiliki lima prioritas dalam presidensi G20 yaitu meningkatkan produktivitas, membangun ekonomi dunia yang tangguh dan stabil, mendorong pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan, memperkuat kepemimpinan kolektif global, dan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi kemitraan antar pemangku kepentingan,“ terangnya.
Sementara itu, Prof. Dr. Tulus Warsito membahas mengenai hutang luar negeri dan bargaining position di politik internasional. Ia menjelaskan bahwa terdapat sebuah paradoks perspektif mengenai hutang luar negeri. Menurutnya, hutang merupakan logika interaktif antara pemilik modal, peminjam, dan kepercayaan.
“Hutang selalu merefleksikan adanya kepercayaan, sehingga secara tidak langsung terjadinya utang karena adanya prestasi antara pemilik modal dan peminjam. Kalau kita percaya pada konsep ini, maka utang kita di dunia global cukup membuat Indonesia percaya diri dalam presidensi G20,” tuturnya.
Selain itu, Faris Al-Fadhat, Ph.D., dalam sesi kedua menyinggung mengenai tantangan besar Indonesia untuk menjembatani kepentingan dari negara-negara anggota G20.
“G20 jika digabung memiliki kekuatan ekonomi 80%, istilahnya 20 negara mengcover 80% ekonomi global. Tidak mudah untuk menjembatani kepentingan negara-negara tersebut. Banyak kepentingan yang akan saling tarik menarik, apalagi kita melihat AS dan China, implikasi perang dagang juga melibatkan negara lainnya yang salah satu bukti nyatanya melebar ke Australia dalam industri nikel,” jelasnya.
Ia juga menambahkan tantangan lain yang dihadapi oleh Indonesia adalah mengenai Green Economy dan energi terbarukan. Meski ini merupakan peluang untuk masa depan seperti dengan menjadi industri sektor baterai dan kendaraan listrik. Namun, Indonesia masih bergantung pada industri konvensional yang juga menjadi tantangan berat untuk Indonesia.
“Indonesia sebenarnya mampu memanfaatkan momentum ini misalnya dalam sektor baterai dan menjadi industri masa depan. Banyak negara yang telah memproduksi mobil-mobil serta kendaraan listrik. Kebijakan ini juga tidak mudah dan akan menjadi tantangan yang sangat berat karena Indonesia masih bergantung pada industri konvensional seperti manufaktur yang tidak mencerminkan green sama sekali,” tutupnya.
Berlanjut pada hari kedua, Indonesia Outlook 2021 masih membahas mengenai kekuatan dan kiprah Indonesia di politik internasional. Dalam kesempatan ini, para dosen Hubungan Internasional (HI) UMY memberikan pandangannya mengenai Indonesia di mata dunia.
Pada sesi pertama dihadiri Sidiq Ahmadi M.A., Drs. Husni Amriyanto M.Si., Muhammad Zahrul Anam S.Ag., M.Si dan Siti Muslikhati, S.IP., M.A. Sedang sesi kedua menghadirkan empat pembicara yakni Dian Azmawati, S.IP., M.A., Grace Lestariana Wonoadi, M.Si., Dra. Mutia Hariati Hussin, M.Si., dan Idham Badruzaman, Ph.D.