Berita

Tarif Tiket Borobudur Naik, Pakar UMY Sebut ‘Abaikan Psikologi Politik Masyarakat’

Sejak hari Minggu (5/6) Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan mengumumkan tarif baru tiket masuk Candi Borobudur sebesar 750 ribu rupiah. Hal tersebut membuat geger masyarakat karena tarif naik sangat drastis, walaupun alasan naiknya harga untuk memelihara cagar budaya warisan Dunia dan tarif tersebut untuk pengunjung yang ingin naik di kawasan candi tersebut. Fenomena tersebut ditanggapi oleh Prof. Dr. Tulus Warsito.,M.Si, Pakar bidang Opini Publik dan Partai Politik saat ditemui pada hari Senin (6/6) di Ruang Dosen, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Bantul, Yogyakarta.

Menurut Prof. Dr. Tulus Warsito.,M.Si, Profesor Bidang Ilmu Hubungan Internasional ini menyatakan fenomena kabar wacana kenaikan tarif tiket Candi Borobudur dan membuat geger masyarakat telah mengabaikan psikologi politik masyarakat. ”Naiknya harga tiket yang fantastis dan membuat geger masyarakat ini kaitannya dengan etika politis kebijakan. Memang menjadi sangat problematis, karena tiba-tiba bisa naik drastis hingga 750 ribu. Hal ini seolah-olah pemerintah atau siapapun yang memutuskan itu mengabaikan kondisi masyarakat. Walaupun hingga saat ini masih dikategorikan sebagai wacana,” papar pengamat budaya UMY ini lagi.

Prof. Tulus juga menambahkan bahwa jika ingin agar tidak ada gejolak respon dari masyarakat, harus perhatikan kondisi masyarakat, dan jika tidak diperhatikan hal tersebut dikatakan sebagai menyepelekan psikologi politik kebijakan umum. ”Jika dilihat dari psikologi politik pengaduan kebijakan, kebijakan tersebut terlalu ekstrem keterlaluannya. Semisal tarif normalnya dipertahankan tapi tidak diperkenankan untuk naik ke kawasan candi bisa jadi alternatif kebijakan juga. Karena yang jadi pertimbangan penjagaan cagar budaya atau memberikan tahapan tarif yang masuk akal yang tidak mempengaruhi gejolak respon masyarakat,” tambahnya.

Menyikapi hal tersebut, menurut Prof. Tulus seharusnya pemerintah tidak 100% berkuasa secara politik karena kepemilikan dan pemeliharaan juga kaitannya dengan UNESCO PBB. ”Kalau kita berbuat objektif untuk menuju kebermanfaatan seharusnya dikonsolidasikan atau didiskusikan bersama bagaimana baiknya melalui diskusi kebudayaan. Kenyataannya saat ini masih dalam wacana dan belum ada ketetapan tarif dan belum ada SOP teknisnya,” tutupnya. (Sofia)