Raut bahagia sekaligus haru menghiasi wajah Hussein Gibreel Musa Salih (34) saat menghadiri prosesi wisuda sarjana dan pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Kamis (6/6) di Gedung Sportorium yang dibangun di atas lahan seluas 1.7 Ha. Lelaki asal Sudan ini berhasil menyelesaikan studi Doktor-nya pada program S3-Manajemen dengan predikat Disertasi Terbaik. Meskipun tak mudah, ia merasa bangga telah berhasil melawati proses perkuliahan yang dijalaninya selama 4 tahun 3 bulan tersebut.
Berbekal ilmu yang telah didapatkannya selama masa perkuliahan S3 nya tersebut, Hussein pun memantapkan hatinya untuk melakukan penelitian terhadap salah satu warisan budaya yang terletak di perbatasan Yogyakarta dan Jawa Tengah, yakni Prambanan dan Borobudur.
Dengan mengangkat judul “Investigating the Antecedents and Consequences of Visiting Sustainable Destinations Intention: A Study of Heritage Sites in Central Java”, Hussein menyoroti bagaimana upaya peningkatan pembangunan berkelanjutan di situs warisan budaya di Borobudur dan Prambanan. Penelitiannya ini bertujuan untuk menemukan cara meningkatkan pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) di destinasi wisata tersebut, serta bagaimana menarik minat wisatawan asing untuk turut serta dalam proyek-proyek pelestarian dan pengelolaan situs-situs warisan budaya.
“Jadi gimana wisatawan asing menganggap itu (Borobudur dan Prambanan) sebagai destinasi yang harus dikunjungi berkali-kali, agar yang mengelola destinasi itu juga bisa membuat strategi-strategi baru yang bisa menarik wisatawan asing lebih banyak lagi,” tandasnya.
Sebagai Scholarship hunter sejak SMA, Lelaki yang akrab disapa Hussein itu mengaku senang bisa mengeyam pendidikan di UMY melalui program beasiswa untuk mahasiswa asing yang telah disediakan oleh UMY. Ia telah mendaftar di berbagai negara, termasuk Turkey, Australia, Rumania, Indonesia dan beberapa kampus lainnya di dunia. Namun ia hanya diterima di Rumania dan Indonesia. Setelah membandingkan antara Rumania dan Indonesia, Ia pun memilih Indonesia karena adanya beasiswa Full yang disediakan oleh UMY. Beasiswa tersebut menanggung biaya kuliah, biaya hidup, akomodasi, kursus Bahasa Indonesia dan dana Kesehatan mahasiswa. Ia pun mengaku, keputusannya untuk memilih UMY adalah karena hanya UMY satu-satunya universitas di Indonesia yang menggabungkan antara unggul dan Islami.
“Di UMY saya tidak hanya mendapatkan ilmu pengetahuan yang unggul, tetapi juga memperoleh dasar-dasar moral dan etika yang dapat meningkatkan akhlak kita untuk bisa menjadi pribadi yang lebih Islami,” kata Hussein.
Meskipun demikian, dengan segala fasilitas yang ia dapatkan sebagai penerima beasiswa, perbedaan budaya antara Sudan dan Indonesia menjadi ujian yang tidak mudah bagi lelaki tersebut. Mulai dari makanan, cara berpakaian, cuaca hingga cara berkomunikasi, semuanya terasa berbeda bagi Hussein. “Tentu ada kesulitan untuk melanjutkan S3 di negara yang bukan negara kita. Di kampus yang kita tidak tahu bagaimana lingkungannya, dan cara belajarnya,” ujar Hussein.
Namun, hal itu tidak menyurutkan langkahnya untuk bisa menyelesaikan studi doktoralnya di UMY. Sudah banyak tantangan yang berhasil ia lewati, walau banyak sekali perbedaan budaya yang ia temui antara Indonesia dengan Sudan. Dari yang awalnya roti menjadi makanan pokoknya di Sudan, saat tiba di Indonesia makanan pokok yang ia temui adalah nasi. Begitu pula dengan perubahan cuaca tak menentu yang juga sering ia alami selama ada di Indonesia. Hingga dari segi cara berkomunikasipun menurutnya sangat berbeda dengan budaya Sudan.
“Ada yang nada suaranya tinggi, tapi saat datang ke Jawa saya menemukan cara berkomunikasi yang berbeda lagi. Di jawa orang-orangnya suaranya lembut dan sering mengucapkan kata “nggih-nggih”. Di Sudan juga tidak ada RT/RW, sedangkan di Indonesia setiap urusan harus melalui RT/RW,” ungkap Hussein.
Perbedaan dalam budaya pembelajaran yang cukup mencolok juga dirasakan oleh Hussein. Di Sudan, pembelajaran seringkali bersifat hafalan dan terikat dengan tenggat waktu yang ketat. Sedangkan di Indonesia, cenderung lebih longgar dengan memberikan ruang bagi mahasiswa untuk berekspresi dan mengatur waktunya sendiri. Akan tetapi, berkat hal itu, Hussein pun mengaku bahwa ada salah satu momen yang paling menyentuh hatinya. Momen tersebut ketika ia diajak bermain bola oleh pimpinan universitas, mulai dari Rektor, Wakil Rektor, dan dosen-dosen UMY. Perlakuan dari pimpinan dan dosen-dosen UMY saat itu pun membuatnya merasa diterima dan dihargai sepenuhnya.
“Kesan yang paling menyentuh ketika saya masuk di sini tiba-tiba saya diajak main bola. Saya kira main bola dengan mahasiswa, ternyata yang ajak saya main bola itu Rektor, Wakil Rektor, dan ada dosen-dosen juga. Jadi saya merasa mereka baik sekali sampai saya bisa main bola dengan mereka. Mereka ramah dan tawadhu sekali. Kita tidak merasa bahwa mereka Professor, karena mereka bisa bercanda dengan kita. Itu sesuatu yang luar biasa,” ungkapnya dengan wajah berbinar.
Tak hanya itu, rasa kagum juga terpatri dalam diri Hussein terhadap pelayanan dari para civitas academica UMY yang lain. Baik itu pegawai di tingkat program studi, bahkan hingga perlakuan dari cleaning service terhadapnya yang dirasakannya sangat ramah dan hangat.
“Saya juga sangat terkesan dengan pihak program studi yang selalu menanyakan kabar. Mereka menanyakan bagaimana belajarnya, studinya lancar tidak? apakah ada kesulitan atau tidak? Ada masalah apa? Atensi itu membuat kita merasa spesial. Tidak hanya itu, civitas akademika UMY, termasuk satpam, cleaning service, semua ramah, itu sangat menyentuh,” tuturnya.
Berharap UMY Menjadi 200 Perguruan Tinggi Terbaik Dunia
Dengan segala fasilitas dan dukungan yang diberikan oleh UMY, Hussein berharap, UMY akan terus berkembang menjadi universitas yang unggul serta menjadi salah satu dari 200 perguruan tinggi terbaik di dunia. Sebagai alumnus, ia berpesan kepada mahasiswa UMY untuk tidak pernah menyerah dalam mengejar cita-cita mereka, termasuk untuk melanjutkan studi ke luar negeri.
“S1, S2 boleh di UMY, tapi S3 mesti keluar negeri, itu tidak sulit menurut saya, yang penting kita apply. Apply-nya kan gratis jadi tak perlu takut. Kalau keterima oke, tidak juga oke. Saya sudah menerima banyak email rejected tapi dari rejected-rejected itu ada yang accepted. Kita harus mulai mengadaptasi diri kita dengan yang namanya rejected. Tapi ketika kita accepted, kita bersyukur,” tegasnya.
Hussein pun mengungkapkan akan pulang ke negaranya, Sudan, setelah kondisi di negaranya lebih kondusif. Ia berharap dapat membawa nilai-nilai perdamaian dan toleransi yang ia pelajari di Indonesia. Untuk membantu membangun negaranya yang selama ini dikenal dengan konflik dan perang, sehingga ia dapat memberikan kontribusi di tanah airnya.
“Orang Indonesia itu berbeda-beda tapi mereka bisa hidup rukun dan damai. Saya ingin bawa itu ke Sudan dan menjadikannya sebagai salah satu contoh di Afrika, yang selama ini masih dikenal sebagai benua yang citranya kurang baik,” tutup Hussein. (Mut)