Dalam wujud memberdayakan masyarakat di Desa Hargobinangun Kecamatan Pakem, Sleman, mahasiswa Kelompok Program Penguatan Kapasitas Organisasi Kemahasiswaan (PPK Ormawa) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) tingkatkan potensi warga lokal dalam mengembangkan inovasi produk olahan buah salak. Periode pelaksanaan kegiatan pengabdian masyarakat ini berlangsung pada bulan Juni sampai Oktober 2024.
Program ini berfokus pada pemanfaatan potensi lokal dari olahan buah salak. Kelompok PPK Ormawa UMY melaksanakan kegiatan pengabdian masyarakat yang didanai oleh Kemdikbudristek sebesar 35 juta rupiah. Kegiatan ini mengusung tema “Akselerasi Ekonomi Masyarakat Prasejahtera Melalui Inovasi Olahan Salak untuk Mewujudkan Villagepreneur Desa Hargobinangun”.
Pada desa tersebut mahasiswa kelompok PPK Ormawa UMY menghadapi tantangan harga buah salak. Dr. Aris Slamet Widodo, S.P., M.Sc. Kepala Divisi Pengabdian Mahasiswa, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) UMY, menjelaskan bahwa program pengabdian masyarakat mahasiswa KKN UMY ini menambah potensi penjualan buah salak dalam mengatasi rendahnya harga buah salak agar tetap menjadi solusi dalam mendukung sektor ekonomi warga desa.
“Program KKN ini akan meningkatkan potensi jual buah salak yang harganya dominan rendah untuk kemudian diolah menjadi berbagai macam oalahan salak. Tidak hanya memberi nilai tambah pada produk buah salak saja, tetapi juga menjadi solusi kreatif untuk meningkatkan ekonomi lokal,” papar Aris.
Tak ingin menyerah pada kondisi ini, kelompok PPK Ormawa UMY mengubah buah lokal tersebut menjadi berbagai olahan produk bernilai tinggi. Salah satunya adalah selai salak yang dikembangkan sebagai isian bakpia, minuman imitasi kopi berbahan dasar biji salak yang kaya antioksidan dan kolagen (ASCOF). Selain itu, minuman imitasi teh dari kulit salak (ASTEA), juga diperkenalkan sebagai inovasi yang memanfaatkan seluruh bagian buah.
Dzaffrin Al Ghifary ketua kelompok PPK Ormawa UMY menuturkan bahwa tujuan dari pelaksanaan kagiatan pengabdian masyarakat ini untuk meningkatkan potensi warga. Apalagi harga salak yang sangat rendah di bawah rata-rata yang berakibat warga menelantarkan kebun salak, sehingga Dzaffrin bersama kelompoknya ingin memajukan komoditas salak di desa.
“Tujuan program kami adalah meningkatkan potensi warga lokal dan nilai ekonomis salak. Di desa Hargobinangun harga salak paling rendah bisa mencapai 2500 per kilogram. Makanya warga di sana antusiasnya kurang, akibatnya kebun salak pun terbengkalai. Karena melihat hal tersebut, kami berpikir bagaimana caranya agar komoditas salak tidak mati salah satunya dengan program kami,” tutur Dzaffrin saat diwawancarai Tim Humas UMY pada Senin (14/10).
Dzaffrin menyampaikan bahwa sebelumnya warga desa Hargobinangun sudah memiliki produk olahan buah salak yaitu dodol dan keripik salak. Warga juga sempat ragu dengan program ini, tetapi setelah dijalankan dengan pelatihan yang dilakukan akhirnya warga bisa percaya dan program ini terus berjalan sampai saat ini.
“Sebelumnya warga sudah pernah menginovasikan produk olahan salak jadi dodol dan keripik salak tapi tidak dilanjutkan. Respon warga awalnya sempat memastikan apakah kelompok kami sanggup dan bisa menjalankan programnya. Nah kami berusaha memastikan lewat pelatihan yang kami berikan. Lalu lama-kelamaan akhirnya masyarakat bisa percaya atas program yang kami jalankan,” jelas Dzaffrin.
Program ini diharapkan bisa terus dilanjutkan oleh masyarakat dengan hibah alat kebutuhan produksi olahan buah salak yang menjadi pendukung kegiatan. Dzaffrin juga menyampaikan keberlanjutan program ini akan membuatkan izin produk dan pendaftran Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).
“Harapannya ini bisa jadi penopang program yang sudah kami susun dan terus dilanjutkan oleh warga, karena kami juga ada hibah alat kebutuhan produksi. Ke depannya kami sedang proses pembuatan perizinan produk makanan dan akan kami daftarkan menjadi UMKM,” tutup Dzaffrin. (Ndrex)