Kidsfluencer, sebutan untuk anak-anak yang menjadi influencer di media sosial semakin marak terbentuk. Namun kehadiran anak-anak di dunia hiburan sebagai kidsfluencer telah memicu kekhawatiran akan potensi eksploitasi anak. Alih-alih peduli, masyarakat justru menikmatinya, menganggap hal tersebut sebagai hiburan yang menggemaskan hingga tanpa sadar membuat orang tua baik sengaja ataupun tidak berusaha mengkomersialisasikan anak mereka karena banyaknya peminat.
Fenomena ini membuat tim Program Kreatifitas Mahasiswa (PKM) Riset Sosial Humaniora (RSH) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) mengangkatnya dalam lomba poster digital di ajang Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) ke-37 di Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya, dengan mengangkat tema “komersialisasi kidsfluencer: kajian sosiokultural, fenomena konten creator anak di Tiktok”. Penutupan PIMNAS ke-37 yang digelar di Airlangga Convention Center, UNAIR pada Jumat (18/10) pun mengumumankan Tim UMY sebagai juara 2 dalam lomba poster digital tersebut.
Ketua tim PKM RSH UMY, Nastiti Dyah Lestari, mahasiswa Ilmu Komunikasi angkatan 2022, memimpin lima anggota yang berkomitmen untuk mengungkap fenomena yang semakin marak ini. Bersama Dewi Ayu Indahsari, Ilham Aji Ramadhan, Aliya Rica Khasanah, dan Alya Zhurifa, mereka telah melakukan penelitian selama 3 bulan dengan pendekatan campuran (mix method), mereka mengumpulkan data dari orang tua anak-anak yang terlibat sebagai “kidsfluencer”, serta mengajukan pertanyaan mendalam tentang proses komersialisasi yang terjadi.
“Tujuan kami bukan hanya untuk menyampaikan hasil riset, tetapi juga untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap isu ini,” ungkap Nastiti saat bertemu Humas UMY seusai menyelesaikan kuliah Senin sore (21/10).
Hasil penelitian mereka tidak hanya disajikan dalam bentuk poster digital di ajang PIMNAS, tetapi juga disertai rekomendasi untuk membantu mengatasi komersialisasi anak di media. Rekomendasi tersebut dibuat dalam bentuk policy brief yang bahkan telah mereka serahkan secara langsung kepada Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan KemenPPPA RI.
“Meskipun demi mendapatkan informan untuk diwawancara bukanlah hal yang mudah, terutama karena topiknya sensitif, kami juga harus membuktikan kepada KPAI bahwa ini terjadi, ini sebuah masalah urgent yang harus segera ditangani,” tegasnya.
Salah satu aspek yang membuat poster tim UMY menonjol adalah desainnya. Dengan menggunakan palet warna yang khas dari TikTok, mereka berhasil menciptakan poster yang tidak hanya informatif tetapi juga menarik secara visual. Setiap elemen desain diatur sedemikian rupa agar pesan yang ingin disampaikan bisa dipahami dengan jelas.
“Kami ingin setiap orang yang melihat poster ini bisa langsung mengerti dan merasakan urgensi isu yang kami angkat,” tambah Nastiti.
Melalui poster digital ini tim UMY ingin menegaskan bahwa perlindungan anak di media itu merupakan tanggung jawab bersama. Mereka berharap kepedulian masyarakat terhadap isu komersialisasi anak semakin meningkat.
“Tujuan kami adalah bagaimana awareness masyarakat bisa meningkat terhadap komersialisasi anak yang semakin banyak dilakukan. Miris, karena tidak semua orang menyadari bahwa itu sebuah bentuk komersialisasi,” tandasnya.
Dengan semangat dan komitmen yang kuat, tim UMY berharap dapat terus berkontribusi dalam mengedukasi masyarakat dan mendorong perlindungan anak di era digital. (Mut)