Berita

Masyarakat Indonesia Perlu Diversifikasi Mata Pencaharian

Kawasan Asia Tenggara dikenal memiliki hamparan hutan yang sangat luas, sebab posisinya terletak di daerah tropis sehingga mempunyai curah hujan yang cukup tinggi. Bahkan, di Indonesia hingga saat ini pertanian dan kehutanan merupakan sektor yang strategis serta memiliki peran penting dalam perekonomian nasional dan keberlangsungan hidup masyarakat. Indonesia sebagai salah satu dari Kawasan Asia Tenggara pun dijuluki sebagai negara agraris dengan sebagian besar penduduknya bekerja dan menggantungkan hidupnya pada natural resources atau sumber daya alam pertanian serta hutan.

Meskipun demikian, transisi mata pencaharian mulai dirasakan dengan seiring berjalannya arus globalisasi yang ada di Asia Tenggara. Termasuk di dalamnya ada pembangunan infrastruktur yang semakin baik, adanya pembangunan jalan, dan intervensi dari negara tetangga juga berperan aktif dalam membuka akses pasar yang lebih luas.

Sebagaimana dikatakan oleh Dosen Agribisnis Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Cahyo Wisnu Rubiyanto, S.P., M.App.Sc., Ph.D, globalisasi menjadi faktor utama terbukanya transisi mata pencaharian masyarakat Indonesia, apalagi globalisasi dinilai dapat membuka peluang terbukanya akses pasar dan munculnya potensi produk desa menuju ke global market (pasar global).

“Selain itu, dengan adanya perkembangan infrastruktur yang semakin baik maka produk dari hutan dan pertanian juga dapat diperjual belikan oleh masyarakat. Tidak berhenti di situ saja, masyarakat pedesaan juga akan semakin mudah mendapatkan akses kesehatan dan pendidikan yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Berdasarkan data di lapangan, dapat dilihat bahwa hal tersebut mendukung banyaknya kegiatan imigrasi di Indonesia dan berdampak pada transisi mata pencaharian,” tandas Cahyo saat dihubungi pada Sabtu (23/11). Penelitian Cahyo ini juga disampaikannya dalam acara Seminar Department di Tokyo University of Agriculture and Technology (TUAT), Jepang yang berlangsung hingga Senin (25/11).

Memang di Indonesia bagian tengah dan timur masih sangat bergantung pada pertanian dan hutan. Namun, Cahyo meyakini bahwa masyarakat Indonesia bagian barat seperti di Jawa Tengah dan Yogyakarta sudah beralih dan berpegang pada mata pencaharian non-farm .

“Dari data yang saya temui di lapangan menunjukkan masyarakat Jawa Tengah dan Yogyakarta banyak yang berubah profesi menjadi buruh, melakukan imigrasi, dan lain sebagainya. Bahkan tidak tanggung – tanggung, mereka banyak bermigrasi ke negara tetangga dan mengirimkan hasil uangnya ke keluarga yang ada di pedesaan sebagai modal melanjutkan kegiatan pertanian,” tandas Cahyo.

Namun, bermigrasi ini juga dinilai penting dilakukan untuk melindungi alih fungsi lahan sebagai salah satu strategi masyarakat dalam mempertahankan sawah dan hutan untuk memenuhi kebutuhan primernya. Oleh sebab itu, menjadi hal esensial untuk mengombinasikan kegiatan pertanian dan nonpertanian agar menjaga keberlanjutan mata pencaharian masyarakat Indonesia.

Melihat fenomena tersebut, Cahyo merasa pemerintah perlu menciptakan kebijakan yang menyasar pada masyarakat pedesaan. Terutama bagi masyarakat yang rentan terkena resiko atau dampak dari arus globalisasi.

“Setiap kebijakan pasti akan menuai pro dan kontra. Tetapi, setidaknya pemerintah dapat membuat kebijakan dengan melihat kondisi masyarakat yang ada di pedesaan. Sebab setiap daerah dan desa memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga menjadi hal yang mustahil untuk menyamaratakan seluruh kebijakan untuk diberlakukan di seluruh pedesaan. Oleh sebab itu, pemerintah harus berhati – hati dan lebih bijaksana,” pungkas Cahyo. (NF)