Berita

Pentingnya Kesejahteraan Dosen, Rektor UMY Ingatkan Untuk Kembali ke Undang-Undang

Tanggapan rektor UMY untuk kesejahteraan dosen

Polemik terkait pembayaran Tunjangan Kinerja (Tukin) yang tertunda sejak 2020 kepada dosen dengan status ASN masih belum menemukan titik tengah hingga saat ini. Tukin dianggap tidak hanya sebagai komponen pembayaran saja, namun juga menjadi salah satu tolok ukur dari kesejahteraan dosen. Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Prof. Dr. Achmad Nurmandi, M.Sc. menganggap bahwa isu tersebut penting untuk segera diselesaikan, dan menilai konsistensi kebijakan dari pemerintah pusat cenderung berubah-ubah.

“Kita sudah memiliki undang-undang terkait guru dan dosen, semestinya pemerintah cukup berpatokan kepada undang-undang tersebut yang telah mengatur kesejahteraan dari para pendidik. Demo yang dilakukan oleh dosen beberapa hari terakhir ini merupakan respon dari inkonsistensi pemerintah terhadap kebijakan dari pembayaran Tukin,” ujar Nurmandi.

Guru Besar UMY di bidang Ilmu Pemerintahan ini khawatir jika kesejahteraan pendidik termasuk dosen kurang diperhatikan, akan berdampak kepada turunnya kualitas pembentukan talenta dari generasi muda, termasuk minat mereka untuk menjadi dosen. Nurmandi merasa bahwa nantinya akan ada kesenjangan standar mutu di perguruan tinggi, karena dosen merupakan indikator utama dalam berlangsungnya Tri Dharma Perguruan Tinggi.

Pemberian Tukin maupun tunjangan lainnya seperti tunjangan Sertifikasi Dosen (Serdos) diharapkan dapat menjadikan dosen lebih sejahtera, sehingga tidak perlu mencari pendapatan lain di luar profesinya sebagai dosen. Isu kesejahteraan dosen dan pegawai pun telah menjadi fokus utama dalam pengembangan internal perguruan tinggi di UMY, yang telah memberlakukan pemberian tunjangan di luar Tukin dan Serdos. Ini secara khusus disampaikan oleh Kepala Lembaga Pengembangan Karir dan Sumber Daya Manusia (LPKSDM) UMY, Prof. Dr. Adhianty Nurjanah, M.Si..

“UMY sebagai PTS pun memang terkena dampak atas penyesuaian kebijakan dari pemerintah pusat, terutama dengan adanya penundaan pemberian Serdos. Walaupun dosen UMY tidak turun melakukan aksi damai, namun kami tetap menyayangkan situasi ini. Saat ini yang bisa kami lakukan adalah memberikan tunjangan bagi setiap dosen berdasarkan performa mereka. Ini menjadi sebagian dari langkah pro-aktif untuk memastikan kesejahteraan dosen kami,” imbuh Adhianty saat ditemui pada Kamis (6/2).

Disampaikan oleh Adhianty, UMY telah rutin memberikan tunjangan berdasarkan Satuan Kinerja Pegawai (SKP). Besaran tunjangan bervariasi dan mengacu kepada target kinerja yang telah dicapai dosen dalam satu bulan, di mana menurut Adhianty dapat melebihi jumlah tunjangan Serdos. Seluruh tunjangan yang diberikan oleh UMY selalu berdasarkan kepada kinerja, termasuk insentif jika mencapai target tertentu seperti publikasi penelitian yang terindeks internasional.

Ia menegaskan bahwa kesejahteraan dosen tidak dapat diukur hanya berdasarkan materi, namun juga kesehatan baik fisik dan mental. Kelengkapan sarana dan prasarana kesehatan, pemberian asuransi dan pemeriksaan kesehatan secara gratis disebutnya sebagai upaya UMY menjamin kesehatan fisik, dan juga rutin mengadakan pengajian bulanan dalam meningkatkan kesehatan mental dan spiritual.

“Upaya yang kami lakukan telah menyeluruh, tidak hanya dengan memberikan tunjangan namun juga harus bersifat berkelanjutan, seperti jaminan terhadap pengembangan karir dosen. Jaminan berupa penyelesaian permasalahan yang dialami dosen, dan difasilitasi dalam bentuk pelatihan. Ini secara tidak langsung berdampak kepada Jabatan Fungsional yang meningkat dan otomatis menambah tunjangan bagi dosen,” jelasnya.

Adhianty berharap dengan UMY yang menaruh perhatian besar bagi para dosen dapat membantu meringankan beban mereka di tengah situasi atas kesejahteraan dosen di Indonesia. (ID)