Berita

Banyak WNI Datang ke Malaysia Tanpa Dokumen, HI UMY Akan Lakukan Join Riset dengan Universiti Malaysia Sabah

HI UMY Riset WNI di Malaysia

Malaysia menjadi negara dengan jumlah Warga Negara Indonesia (WNI) terbanyak, yang mencapai hingga 2,5 juta orang. Namun, permasalahan juga turut muncul, di mana masih banyak WNI di Malaysia yang rupanya datang tanpa memiliki dokumen, khususnya dokumen sebagai pekerja migran.

Sebut saja di daerah Sabah, Malaysia. Berdasarkan data dari Konsulat Jenderal RI di Sabah, diaspora Indonesia di Sabah tercatat mencapai lebih dari 123 ribu orang, dengan 23 ribu diantaranya adalah usia sekolah. Namun, jumlah riil dari diaspora Indonesia di Sabah saja, bisa dua hingga tiga kali lipat lebih banyak dari data yang ada.

“Hal ini bisa terjadi terutama karena Sabah punya akses darat dan laut yang bisa dimasuki oleh para imigran gelap. Oleh karena itulah, melihat fenomena yang terjadi ini, kami di Program Studi Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (HI UMY) akan menjalin kerja sama dengan Universiti Malaysia Sabah (UMS) dalam bidang riset untuk topik Undocumented People ini dan tentang isu-isu perbatasan,” jelas Dr. Sugito, M.Si, Ketua Prodi HI UMY saat dihubungi pada Selasa (18/2).

Menurut Sugito, fenomena WNI yang tidak memiliki dokumen pekerja migran di Malaysia ini disebabkan oleh beberapa hal. Diantaranya seperti visa yang dimiliki adalah visa turis dengan masa berlaku 30 hari, izin masa tinggal yang sudah habis tapi tidak diurus kembali, kelahiran anak yang juga tidak terdokumentasikan, hingga WNI yang masuk secara ilegal melalui perbatasan di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara.

“Jadi untuk membantu mengurai problem imigran yang terjadi di sana, khususnya di Sabah Malaysia, kami akan melakukan kerja sama riset ini. Selain itu juga, tujuan kerja sama ini untuk mencari alternatif kebijakan dan pendekatan yang tepat, untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang muncul terkait dengan imigrasi orang ini,” papar Sugito.

Finalisasi draft kerja sama antara HI UMY dengan UMS ini pun telah dilakukan pada Kamis (13/2) di USM oleh Ketua Prodi HI UMY Dr. Sugito, M.Si, dan Dekan Fakulti Sains Sosial dan Kemanusiaan (FSSK) Dr. Asmady Idris. Selain kolaborasi riset, Prodi HI UMY dan FSSK UMS juga akan melakukan kerja sama student exchange, KKN Internasional kolaborasi dengan UMS, KJRI, dan Sekolah Indonesia Kota Kinabalu (SIKK), publikasi Bersama, joint international seminar, dan pertukaran dosen mengajar.

“Dalam konteks study, HI UMS punya kelebihan pada study human security, border study, dan migrasi. Hal inilah yang dirasa cocok dengan keunggulan HI UMY. UMS juga punya potensi besar untuk dapat mengirimkan mahasiswanya untuk inbound di HI UMY,” imbuh Sugito.

Tagar #kaburajadulu

Sementara itu, di sisi lain persoalan pekerja migran ini, netizen Indonesia juga tengah diramaikan dengan kemunculan tagar #kaburajadulu. Tagar tersebut muncul di media sosial X dan ramai diperbincangkan sejak kemarin, Minggu (16/2). Dr. Ratih Herningtyas, Pakar Hubungan Internasional UMY pun turut mengomentari hal tersebut.

Menurutnya, tagar tersebut mencerminkan kegundahan, terutama dari anak-anak muda Indonesia tentang masa depan mereka.

“Kalau pemerintah mencanangkan Indonesia Emas, anak-anak malah memplesetkannya menjadi Indonesia cemas. Ekspresinya ya dengan tagar itu. Jadi tagar itu mencerminkan persoalan multi dimensi Indonesia yang menimbulkan kekhawatiran, baik dari segi ekonomi, sosial, hukum, dan budaya. Apalagi jika kebijakan efisiensi anggaran pemerintah ini tidak diikuti dengan birokrasi yang seharusnya ramping,” ujar Ratih saat dihubungi pada Selasa (18/2).

Ratih pun mengingatkan, bahwa isu tentang migrasi orang Indonesia keluar negeri sebenarnya juga kompleks.

“Sebelum ada tagar itu, isu pekerja migran Indonesia di luar negeri itu juga problematis. Dari problem dokumennya, keahliannya (pengaruh ke jenis pekerjaan, sampai ke problem sosial kemasyarakatan di luar negeri seperti kriminalitas, scam, dan lain-lain. Maka kita harus bijak menyikapi tagar #kaburajadulu tersebut,” pungkas Ratih.