Berita

Pakar Hukum Tata Negara UMY Minta Pertimbangkan Supremasi Sipil dalam RUU TNI

Pakar Hukum UMY tentang RUU TNI

Dosen Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. Nanik Prasetyoningsih, M.H. menyoroti kejanggalan yang terjadi selama proses pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI oleh DPR RI Komisi I. Ditemui pada Selasa (18/3), Nanik mengingatkan bahwa apapun agenda yang direncanakan dalam RUU TNI, harus tetap menjaga keberlangsungan supremasi sipil dalam sistem demokrasi. Ini sekaligus untuk menyelaraskan adanya batasan yang jelas dan tegas terhadap keterlibatan TNI dalam jabatan sipil.

“Secara formil, pembahasan RUU TNI ini sudah kontroversial karena tidak melibatkannya meaningful participation dari masyarakat. Karena selama pembahasan dilakukan secara tertutup, muncul kekhawatiran akan berdampak kepada supremasi sipil. Mengingat Indonesia adalah negara demokrasi sehingga dalam setiap pengambilan keputusan di tingkat pemerintahan harus mendapat persetujuan dari masyarakat,” ujar Nanik di ruang kerjanya di Prodi Hukum Program Magister UMY.

Ketua Program Studi Hukum Program Magister UMY ini menilai bahwa hak masyarakat tersebut harus tetap dipenuhi oleh pemerintah, agar tidak menghidupkan kembali sistem dwifungsi militer seperti pada masa Orde Baru. Ia merasa bahwa substansi dari RUU TNI yang memberikan perluasan jabatan sipil untuk anggota militer aktif sudah menjadikan TNI dapat melakukan intervensi dalam bidang yang kurang sesuai dengan fungsi dari TNI. Hal tersebut berpotensi untuk menimbulkan tumpang tindih kewenangan dengan lembaga terkait di bidang tersebut.

“Kewenangan TNI tersebut masih akan ditambah dengan perluasan tugas operasi militer selain perang yaitu di bidang penanganan narkotika, siber dan informatika, serta konflik WNI di luar negeri. Itu semua tercantum dalam RUU TNI dan perlu diatur dengan tegas batas dari kewenangan di setiap bidang tersebut, karena selama ini sudah ada lembaga yang berwenang seperti BNN, BSSN dan Kementerian Luar Negeri,” imbuhnya.

Ketidaksesuaian yang terjadi dengan adanya dwifungsi militer inilah yang menurut Nanik dapat mengancam supremasi sipil dari masyarakat, di mana ia juga menegaskan bahwa hubungan antara militer dengan sipil harus dipisah dengan tegas. Secara objektif, tugas dari militer atau TNI adalah pertahanan dan keamanan nasional dan tidak akan terlibat dalam struktur pemerintahan sipil. Namun dengan adanya RUU TNI, Nanik khawatir tugas tersebut akan bergeser menjadi subjektif. Walaupun dengan dalih pengawasan akan lebih melekat, masuknya TNI ke dalam ranah tersebut tetap tidak ia benarkan.

Kejanggalan dalam proses meloloskan RUU TNI perlu diperbaiki di beberapa aspek, salah satunya adalah pembahasan yang harus diulang dan melibatkan lebih banyak masyarakat. Nanik menyebutkan bahwa meaningful participation dari masyarakat dapat memenuhi syarat formil pembentukan peraturan perundang-undangan. Ia juga merasa perlu ada peninjauan ulang dalam substansi dari RUU TNI dan penempatan secara proporsional atas supremasi sipil di Indonesia.

“Sipil dan TNI itu sudah ada tempat dan fungsinya masing-masing, jangan dicampur adukkan. Dwifungsi militer di Indonesia sudah dikoreksi pada saat reformasi, mengapa seakan berniat dihidupkan kembali? Artinya akan terjadi kemunduran dalam demokrasi Indonesia. Terlepas dari segala proses politik yang terjadi, dalam hukum sudah jelas diatur melalui UUD 1945 terkait tugas dari TNI, di mana harus ada batas yang tegas antara TNI dengan ranah sipil sehingga sesuai dengan ketentuan konstitusi,” pungkasnya. (ID)