Kondisi mencengangkan lagi – lagi terjadi di sektor perekonomian Indonesia. Di mana baru – baru ini Bursa Efek Indonesia melakukan pembekuan sementara perdagangan karena dipicu adanya penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencapai angka 5%. IHSG dapat dikatakan mengalami penurunan yang sangat signifikan dan banyak menimbulkan perdebatan di kalangan investor.
Pasalnya, penurunan IHSG ini disebabkan karena adanya penurunan peringkat saham Indonesia yang kini berada pada kategori market weight dari sebelumnya overweight. Morgan Stanley Capital International (MSCI) pun mengurangi bobot saham Indonesia pada akhir tahun 2024, yang mulanya 2,2% menjadi 1,5%. Tentunya hal tersebut berpotensi untuk memengaruhi aliran modal internasional.
Sebagaimana yang dijelaskan dosen sekaligus Direktur International Program of Islamic and Economic Finance (IPIEF) UMY, Dimas Bagus Wiranatakusuma, M.Ec. Ph.D situasi ini dapat memunculkan kepanikan pada investor karena adanya sentimen negatif yang muncul di pasar saham.
“Kenyataan dari kondisi makro ekonomi di Indonesia yang tidak sesuai dengan harapanlah yang memunculkan kepanikan pada kondisi saat ini. Ditambah lagi adanya defisit penerimaan pajak sebesar 30 persen rupiah yang mengalami penurunan nilai, banyaknya korupsi yang akhir – akhir ini terkuak, dan munculnya isu kemunduran menteri keuangan. Hal tersebut memunculkan pertanyaan besar, apakah pasar modal Indonesia bisa survive atau tidak?” pungkas Dimas saat diwawancarai pada Jumat (21/03) di Gedung Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).
Dari sisi eksternal, aliran modal baik dari saham maupun obligasi turut berperan dalam menekan IHSG, sementara fluktuasi mata uang rupiah juga menunjukkan keterkaitan yang erat dengan kinerja pasar saham Indonesia.
Seperti yang diketahui bahwa pasar modal merupakan sektor keuangan yang sangat signifikan dalam pembangunan di Indonesia. Oleh sebab itu, Dimas menuturkan banyak hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah baik itu dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Untuk langkah jangka pendek, dosen program studi ekonomi UMY ini menyebutkan pemerintah dapat melakukan himbauan moral dengan memberikan pernyataan pro dengan pasar.
Lebih dari itu, pemerintah Indonesia harus segera melakukan transformasi fundamental pada sektor ekonomi dengan cara mengembalikan kesehatan fiskal melalui pemaksimalan penerimaan negara. Di mana hal tersebut dapat dilakukan dengan mengurangi anggaran pengeluaran seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dan memompa pajak untuk barang-barang mewah.
“Pemerintah juga perlu membangun sistem ekonomi yang terhubung dari hulu ke hilir, sehingga value dan pemasukan negara menjadi lebih tinggi. Selain itu, pemerintah di bawah naungan Presiden Prabowo Subianto harus bisa memastikan kesembilan sektor ekonomi di Indonesia tidak berada pada keadaan defisit,” tambahnya.
Dengan kata lain, sembilan sektor ekonomi yang dihitung dalam pendapatan nasional PDB (Produk Domestik Bruto) harus memiliki pertumbuhan yang solid. Sesuai dengan target Presiden Indonesia ke – 8 tentang adanya peningkatan pertumbuhan ekonomi hingga mencapai 8 persen. (NF)