Wajah perfilman Indonesia telah banyak berubah sejak tahun 1998. Pertama, perubahan terjadi dari pemerintahan otoriter ke pemerintahan yang liberal, kemudian dari perspektif teknologi yaitu dari analog ke digital. Memasuki era digital, film nasional meningkat secara kuantitas, namun bagaimana dengan kualitasnya?
Berangkat dari hal itu, mahasiswa Broadcasting Ilmu Komunikasi (IK) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) angkatan 2011 tergerak untuk menulis sebuah buku dengan judul Mata Sinema ‘Melihat Lebih Dalam Film Indonesia’. Buku tersebut merupakan karya pertama mahasiswa broadcasting IK UMY 2011 yang pertama. Dalam buku itu dijelaskan bagaimana wajah perfilman Indonesia saat ini. Genre yang dibahas dalam buku itu merupakan genre yang sering muncul di film Indonesia yaitu nasionalisme, anak muda dan kaum marginal dan seks horor.
Secara kuantitas film Indonesia memang meningkat, karena di era analog semua orang dipermudah dalam membuat film. Namun persoalannya adalah apakah film Indonesia saat ini berkualitas? Indan Kurnia Effendi, mahasiswa broadcasting IK UMY 2011 yang merupakan penulis sekaligus editor buku Mata Sinema mengatakan bahwa wajah film Indonesia saat ini jauh dari hal-hal yang menginspirasi. Banyak film yang dibuat hanya mengandalkan cerita yang sensasional, mengandung hal-hal berbau seks yang tidak mendidik, eksploitasi terhadap perempuan dan kaum marginal, serta mengandung nilai nasionalisme, kehidupan, dan gaya hidup rasa barat. “Harusnya para sineas film bisa membuat film yang juga memberikan nilai-nilai yang menginspirasi, tidak hanya menghibur,” jelasnya saat ditemui dalam Launching Buku Mata Sinema ‘Melihat Lebih Dalam Film Indonesia’ di IVAA, Yogyakarta pada Jum’at, (17/1).
Senada dengan hal tersebut, dosen Ilmu Komunikasi UMY, Fajar Junaedi yang merupakan pembimbing dalam proses penulisan buku Mata Sinema mengungkapkan bahwa, perfilman Indonesia saat ini hanya berorientasi pada jumlah penonton di bioskop. “Padahal seharusnya film bisa menjadi wadah untuk menebar hal-hal yang bisa menginspirasi masyarakat yang menontonnya. Tidak semata-mata membuat dan menjual film untuk mengembalikan biaya produksi. Film sebagai entitas bisnis sah-sah saja apabila berorientasi pada wilayah ekonomi, namun apakah harus juga menafikan hal lain yang juga penting?” ujarnya.
Fajar juga mengatakan bahwa masyarakat sebagai penonton harus bisa menjadi masyarakat yang negotiated reading saat menonton film. Dimana pada saat menonton, masyarakat harus melakukan proses negosiasi-negosiasi terhadap pesan yang disampaikan oleh film. Masyarakat diharapkan untuk tidak menelan mentah-mentah film yang ditonton. Sehingga penonton bisa menilai mana film yang mempunyai nilai yang menginspirasi dan tidak. Fajar menambahkan bahwa peran mahasiswa dalam hal ini sangatlah penting. Mahasiswa sebagai generasi penerus haruslah kritis dan cerdas. “Mahasiswa komunikasi merupakan calon sineas film, sehingga kita tentu berharap dengan ilmu yang dimiliki mahasiswa mereka bisa membuat film yang menginspirasi penonton,” pungkasnya. (Asri)