Keadaan bumi sudah berada pada titik kritis. Penebangan hutan , pembakaran hutan, alih fungsi lahan yang menyebabkan kegundulan hutan terus meningkat kasusnya. Dalam skala tahun 2000-2007 terjadi penebangan hutan seluas 24 juta hektar di Indonesia. Jelas sekali ini sangat berbahaya bagi kelangsungan lingkungan hidup. Akibat perusakan lingkungan yang notabene dilakukan oleh tangan manusia ini, bencana lingkungan pun semakin tak terhindarkan, seperti banjir, perubahan iklim, hingga pemanasan global.
Demikian diungkapkan oleh Suparlan , Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Yogyakarta dalam seminar lingkungan bertemakan memperkuat peran Civil Society dalam pengelolaan lingkungan yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (BEM FISIPOL UMY) bertempat di Kampus Terpadu UMY, Kamis Sore (6/5).
Senada dengan 2500 Profesor yang tergabung dalam Intergovermental of climate change yang menilai bahwa kerusakan lingkungan di dunia di sebabkan oleh ulah tangan manusia, Suparlan juga melihat bahwa kerusakan lingkungan disebabkan oleh negara lebih mementingkan kepentingan para pemilik modal dibandingkan lingkungan hidup maupun kepentingan masyarakat. “Kerusakan lingkungan sering sekali dilakukan oleh korporasi besar, Illegal logging oleh pengusaha kayu, alih fungsi hutan juga oleh perusahaan yang mendapat dukungan dari pemerintah,”ungkapnya.
Menurut Suparlan, Ibarat orang yang sakit, bumi yang harus kritis juga harus segera di obati. Fakta lapangan yang menunjukan kerusakan lingkungan sudah ditunjukkan di depan mata. Akibatnya juga sudah dirasakan mulai dari perubahan iklim yang menyebabkan petani gagal panen, nelayan tidak bisa melaut. Serta eksploitasi terhadap alam yang dilakukan oleh kelompok manusia termasuk korporasi seperti yang terjadi di Sidoarjo. Lumpur Lapindo telah melumpuhkan basis produksi masyarakat di sana. “Untuk mengobati bumi yang sakit ini, perlu upaya masyarakat maupun gerakan civil society dalam proses memperbaiki kerusakan lingkungan hidup ini khususnya di Indonesia,”urainya.
Memang agak sulit untuk menciptakan masyarakat yang sadar lingkungan. Parahnya lagi, menurut Suparlan saat ini banyak masyarakat yang menganggap bahwa bencana lingkungan itu adalah hal biasa. Sehingga kerusakan lingkungan pun terasa menjadi hal yang biasa saja dan tidak perlu ditanggapi dengan serius. “Menimbulkan kesadaran masyarakat ini lah yang perlu di lakukan oleh semua pihak, baik pemerintah maupun gerakan-gerakan civil society,”paparnya.
Selain menumbuhkan sadar lingkungan, masyarakat juga harus mulai menanam pohon menanam pohon ini juga harus disertai dengan kesadaran untuk tidak menggantungkan oksigen pada orang lain. Masyarakat juga harus mengontrol kebijakan pemerintah terkait dengan lingkungan. Serta memproduksi maupun menggunakan produk ramah lingkungan. Namun dalam memproduksi produk ramah lingkungan, Suparlan menekankan jangan sampai logika ekonomi yang bermain. Suparlan memaparkan bahwa di Yogyakarta ada kelompok ibu-ibu yang memamfaatkan plastik bekas deterjen, sabun yang dikumpulkan dari sampah rumah tangga maupun sampah warung untuk dijadikan barang ekonomi seperti tas dan keranjang. Namun sering kali ketika orderan semakin banyak dan para ibu ini kehabisan bahan plastik, mereka membeli plastik barang terebut di swalayan. “Harusnya kan dari sampah bukan membeli dari swalayan. Kalau begitu ya sama saja,”ungkapnya.
Di lain sisi, Tasdianto, Sp, M.Si selaku kepala kantor lingkungan hidup regional Jawa, yang juga menjadi pembicara dalam seminar tersebut memaparkan bahwa saat ini pemerintah telah melakukan upaya menciptakan masyarakat berwawasan lingkungan melalui komunitas-komunitas. Di Yogyakarta, pemerintah mengklasifikasi masyarakat menjadi empat komunitas yakni komunitas pendidikan, komunitas pebisnis, komunitas kampung, dan komunitas agama. Menurut Tasdianto cara melakukan penyadaran terhadap masing-masing komunitas berbeda-beda sesuai dengan karakteristik masing-masing.
Komunitas agama biasanya penyadaran dilakukan berdasarkan kitab suci masing-masing agama. Untuk komunitas agama islam, Tasdianto memaparkan sudah melakukan kerjasama dengan berbagai pesantren di Regional Jawa untuk menciptakan para santri yang berwawasan lingkungan. “Di Jogja, di bawah lereng merapi ada sebuah pesantren yang saat ini menjadikan wawawan dan sadar lingkugan sebagai salah satu subjek yang didalami selain pengetahuan agama dan umum,”paparnya. Selain dengan pesantren, Pemerintah juga melakukan kerjasama dengan organisasi ummat salah satunya dengan Muhammadiyah. “Pemerintah dengan PP Muhammadiyah telah bekerja sama dalam gerakan penaman pohon dan sadar lingkungan yang telah dilakukan beberapa waktu yang lalu dan akan terus berlanjut,”tandasnya.