Berita

Akademisi Nilai Nawa Cita Trisakti Jokowi-JK Belum Miliki Acuan Jelas

Pada saat mencalonkan diri sebagai Presiden, Joko Widodo menyatakan bahwa dalam kepemimpinannya akan mengedepankan Nawa Cita Trisakti. Trisakti dalam kepemimpinan Jokowi yang menyoroti aspek berdaulat pada politik, berdikari dalam ekonomi, serta berkepribadian dalam sosial kebudayaan, dirasa belum memiliki acuan yang jelas dalam proses pelaksanannya. Pasca kepemimpinan Soeharto, presiden-presiden Indonesia tidak memiliki GBHN (Garis Besar Haluan Negara) sehingga terkadang dalam menjalankan sebuah gagasan atau kebijakan tidak memiliki acuan yang jelas. Sama halnya seperti Nawa Cita Trisakti yang dibentuk oleh Jokowi, tidak memiliki acuan dan patokan yang jelas dalam proses pelaksanaannya, sehingga masyarakat cenderung menuntut dan menganggap kinerja Jokowi tidak berjalan dengan baik, karena kurangnya informasi kepada masyarakat terkait proses yang sedang digagas oleh Jokowi dan Pemerintahannya dalam melakukan pembangunan dan penyelesaian permasalahan yang sedang terjadi di Indonesia. Hal tersebut dingkapkan Prof. Tulus Warsito, guru besar Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) saat diwawancara menanggapi satu tahun kinerja pemerintahan Jokowi, pada Rabu (21/10) di ruang Jurusan HI.

Satu tahun kepemimpinan Joko Widodo diwarnai berbagai permasalahan yang muncul, terkait pelemahan KPK, permasalahan penyerapan anggaran dana, kenaikan harga BBM, dan yang terbaru yaitu lambannya pemerintahan Jokowi dalam menyelesaikan kasus asap yang belakangan ini terjadi. Masyarakat melihat Jokowi lamban dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Menurut Prof. Tulus Warsito lambannya Jokowi dalam bersikap terkait kasus-kasus yang belakangan ini tejadi karena adanya faktor internal, dan juga eksternal yang mempengaruhi Jokowi dalam mengambil sebuah keputusan penyelesaian.

“Faktor internal di sini datang dari orang-orang terdekat Jokowi, yang memiliki pengaruh besar terhadap keputusan yang akan diambil oleh Jokowi, contohnya seperti kasus asap yang belakangan ini terjadi, kasus tersebut sebenarnya dapat dilihat dengan jelas titik permasalahannya, namun dalam penyelesaiannya, tidak ada keputusan yang rill oleh Jokowi dalam menyelesaikannya. Meskipun mulai ada keberanian dalam menguak aktor-aktor yang terlibat atas kasus tersebut, itu sudah menjadi langkah awal yang tepat, dalam membongkar dan menyelesaikan permasalahan tersebut. Sedangkan untuk faktor eksternal yaitu kabinet kerja Jokowi kurang memiliki integritas dalam penyelesaian kasus yang dapat membantu Jokowi dalam bersikap,” ungkapnya.

Bidang-bidang permasalahan yang melibatkan masyarakat luas atau populer, lanjut Prof. Tulus, saat ini harus menjadi fokus penyelesaian Jokowi dan kabinetnya, yaitu memperhatikan permasalahan naiknya harga BBM yang semakin menyulitkan ekonomi masyarakat, selain itu kemajuan pendidikan juga menjadi tantangan Jokowi dalam memperbaiki kondisi dunia pendidikan di Indonesia. “Selain kedua permaslahan tersebut, yang harus menjadi bahan perhatian Jokowi kedepannya yaitu permasalahan terkait maraknya PHK besar-besaran yang dilakukan oleh perusahaan karena terbatasnya produksi perusahaan akibat dari ekonomi yang melemah, sehingga sulit dalam melakukan produksi dan membeli bahan mentah. Imbasnya, PHK pun dilakukan perusahaan dalam menyelesaikan permasalahan tersebut, hal ini akan menjadikan tingkat pengangguran di Indonesia semakin meningkat,“ tutupnya.

Penegakan Hukum Masih Lemah

Direktur International Government Studies (IGOV) UMY, Eko Priyo Purnomo, Ph.D saat ditemui pada Rabu (21/10) menyatakan ada beberapa hal yang perlu dicermati jika dilihat dari sisi kelemahan pemerintahan Jokowi-JK. Menurut Eko, Jokowi seharusnya memiliki upaya maksimal untuk mendorong sektor ekonomi real, melakukan penegakan hukum yang kuat dan perlu melihat dengan cermat dalam hal politik lingkungan. Pada sisi penegakan hukum, sekalipun pada beberapa poin awalnya penegakan hukum di era Jokowi-JK terbilang bagus, dengan adanya eksekusi mati kasus narkoba dan penghancuran kapal pelaku illegal fishing. Namun pada poin penegakan hukum yang lain masih lemah, khususnya terkait pemberantasan korupsi. “Semenjak pemerintahan Jokowi ini tidak ada kasus besar yang diungkap. Semua kasus lama yang terungkap, belum ada kasus baru. Namun yang perlu diapresiasi adalah Jokowi tidak menyetujui adanya revisi UU KPK, tidak seperti partai pengusungnya yang menginginkan hal tersebut,” jelasnya.

Kemudian pada sisi kebijakan politik lingkungan, menjadi hal yang terburuk dari permasalahan perekonomian, politik, dan penegakan hukum di Indonesia. Hal tersebut terbukti dengan kasus kebakaran hutan di Sumatra dan Kalimantan serta kabut asap yang lebih besar dari tahun lalu. “Kalau tahun lalu asap sudah bisa diselesaikan dalam waktu satu bulan. Tapi untuk saat ini, hingga masuk ke bulan ketiga, kasus asap tersebut belum selesai-selesai. Bahkan untuk menerima bantuan dari luar negeri pun Jokowi-JK masih merasa tidak mau menerima bantuan bulanan. Setelah didesak banyak orang, mereka baru mau menerima,” ungkapnya.

Selain itu, Eko menilai dari sisi politik masa kepemimpinan Jokowi memang memiliki kestabilitas politik. Pada awal kepemerintahan Jokowi, frakmentasi kekuasaan di pemerintahan Jokowi dengan parlemen sangat terlihat. Eko memandang dari sisi kestabilan politik, Jokowi dianggap mampu dalam memberikan kestabilan politik yang terbukti tidak begitu banyak kritikan dalam parlemennya. “Meskipun demikian, di satu sisi yang harus dicermati adalah isu tentang sektarian, konflik ras, serta konflik yang berbau agama yang masih sangat kental di pemerintahan Jokowi. Bagaimana kekerasan terkait kasus syiah dan sunni, dan baru saja terjadi kekerasan di Aceh yang bagi saya hal tersebut merupakan nilai kelemahan Jokowi dalam menjaga kestabilan keamanan dalam sisi politik,” jelasnya.

Sementara jika dilihat dari sisi positif terkait perekonomian, Eko mengungkapkan bahwa dengan dibangunnya pembangunan infrastruktur yang sedang dilakukan oleh pemerintahan Jokowi saat ini sudah terlihat. “Pembangunan infrastruktur menjadikan Indonesia tidak krisis dibidang perekonomian, meskipun dalam kurs mata uang pernah mengalami kemerosotan yang kini sudah menuju kestabilan. Akan tetapi, meskipun adanya pertumbuhan perekonomian di bidang infrastruktur, hal yang perlu diperhatikan adalah hutang luar negeri yang terus meningkat. Selain terus meningkatnya hutang luar negeri tersebut, adanya defisit anggaran atau pendapatan dari pajak yang tidak sesuai target,”jelasnya.

Perguruan Tinggi Indonesia Belum mampu bersaing dengan perguruan tinggi asing

Di sisi lain, Rektor UMY, Prof. Dr. Bambang Cipto, MA melihat sisi kelemahan pemerintahan Jokowi-JK dari ketidakmampuannya menjadikan perguruan tinggi di Indonesia untuk mampu bersaing dengan perguruan tinggi asing. Prof. Bambang mengungkapkan bahwa pemerintahan Jokowi belum menyentuh pengembangan perguruan tinggi Indonesia kelas dunia. “Kalau saya lihat dari perguruan tinggi dampaknya belum terlihat. Indonesia belum mampu bersaing dengan perguruan tinggi dari negara lain yang berkualitas dunia,” ungkapnya saat ditemui di kantor rektorat UMY pada Rabu (21/10).

Prof. Bambang kembali mengungkapkan, hal yang sangat disayangkan dalam pemerintahan Jokowi adalah sisi perguruan tinggi yang terabaikan. Jokowi hanya memfokuskan pada sisi pembangunan infrastruktur. Jika hal ini dibiarkan, akan membuat ketidakmampuan perguruan tinggi Indonesia bersaing dengan perguruan tinggi asing. Bagi Rektor UMY, dengan membangun sumber daya manusia (SDM) yang berkelas dunia untuk bangsa ini sangatlah diperlukan. “Sangat disayangkan, sampai sekarang belum ada visi yang dimiliki Presiden terkait hal tersebut. Karena itu, kami sangat berharap Presiden Jokowi bisa benar-benar memperhatikan kualitas SDM secara umum,” tegasnya.

Sementara itu jika dilihat dari faktor perekonomian, Prof. Bambang menambahkan bahwa tidak ada permasalahan perekonomian yang sangat mencolok. Hanya saja menurutnya pemerintahan Jokowi dalam setahun ini belum mampu menangani asap yang sedang dihadapi oleh masyarakat Sumatra dan Kalimantan. “Terkait kasus ini kurang cepat dalam penanganan. Jika dari awal pemerintahan cepat menanggapinya, mungkin bisa jadi akan diminimalisir atas banyaknya anak-anak yang meninggal,” ungkapnya.