Berita

Akademisi UMY Nilai Pernyataan Sepihak Trump Langgar Status Yerusalem

Donald Trump, Presiden Amerika Serikat ke-45 tersebut seringkali mengeluarkan berbagai pernyataan yang mengundang sensasi dan tidak jarang apa yang diucapkan Trump menjadi bahan perbincangan dunia internasional. Seperti yang baru-baru ini dicuitkan olehnya dalam salah satu akun media sosial resmi milik Trump bahwa ia mengakui bahwa Yerusalem adalah ibukota negara Israel dan akan memindahkan kantor kedutaan besar Amerika Serikat dari Tel Aviv.

Kota Yerusalem menjadi isu yang sensitif dalam pembicaraan mengenai hubungan antara negara-negara Arab dan Israel. Tempat tersebut merupakan kota suci bagi 3 penganut agama yakni Kristen, Yahudi, dan Islam dimana di dalamnya terdapat masjid Al-Aqsha yang pernah menjadi kiblat pertama kaum muslim. Akademisi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Ratih Herningtyas, S.IP, M.A. menyebutkan bahwa pernyataan sepihak yang dikeluarkan oleh Trump tersebut merupakan tindak pelanggaran dari kesepakatan yang sudah ada Yaitu Two State Solution yang berisikan dalam wilayah yang ada didirikan 2 negara untuk 2 warga. Perdebatan mengenai batas negara masih sering menjadi sumber konflik antar kedua belah pihak, dan pernyataan yang dikeluarkan Trump akan berpotensi merusak usaha menuju perdamaian.

“Pernyataan Trump untuk memindahkan kedutaan besar Amerika Serikat ke Yerusalem merupakan bentuk pengakuan dari Amerika Serikat terhadap posisi Yerusalem sebagian bagian kedaulatan Israel. Pernyataan ini merupakan pelanggaran yang nyata mengenai kesepakatan status Quo terhadap Yerusalem dalam kerangka penyelesaian konflik Israel-Palestina melalui Two State Solution. Pernyataan tersebut juga semakin menunjukkan bahwa kebijakan Amerika Serikat menerapkan standar ganda dalam isu Israel-Palestina,” papar Ratih, yang juga merupakan dosen Hubungan Internasional UMY, saat berkesempatan untuk diwawancarai oleh tim Biro Humas & Protokol (BHP) UMY, Kamis (7/12).

Meskipun hanya berupa pernyataan, kemungkinan Yerusalem menjadi pengganti dari Tel Aviv bisa saja terjadi. “Kemungkinan terwujud penggantian ibukota negara Israel sangat tergantung pada keberanian dan nyali Trump untuk merealisasikannya. Apalagi di tengah berbagai pernyataan keras masyarakat internasional, salah satunya Turki melalui Presiden Erdogan yang akan memanfaatkan pertemuan OKI (Organisasi Kerjasama Islam) di Istanbul sebagai momentum menggerakkan negara-negara anggota OKI dan komunitas muslim dunia untuk menentang kebijakan tersebut. Trump juga tidak boleh mengabaikan potensi munculnya gerakan Anti-Amerika yang semakin besar dan berpotensi akan mengancam keamanan nasional dan kepentingan Amerika Serikat,” jelas Ratih melanjutkan.

Selain Turki, Indonesia lewat Menlu Retno Marsudi juga cepat bertindak menanggapi pernyataan Trump tersebut dengan memanggil Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia guna mendapatkan kejelasan. “Indonesia sudah berkomitmen dalam mendukung kemerdekaan Palestina seperti yang tertuang dalam Undang Undang Dasar Indonesia dan keputusan memanggil dubes Amerika Serikat merupakan langkah baik dan strategis untuk menegaskan sikap Indonesia atas isu Israel-Palestina. Selain itu, Indonesia juga bisa mengintensifkan komunikasi dan kerjasama dengan negara-negara lain seperti ASEAN atau dalam wadah kerjasama OKI untuk menggalang dukungan guna menolak keputusan sepihak tersebut. Ini perlu dilakukan mengingat status Yerusalam berdasarkan Partition Plan 1944 yang melahirkan Two State Solution seharusnya diselesaikan dengan melibatkan Israel dan Palestina untuk mencari jalan tengah penyelesaian konflik dan bukan dengan melalui klaim sepihak saja,” ungkap Ratih. (raditia)