Berita

Aisyah Mumary Songbatumis, dari PBI UMY hingga menjadi Guru di Polandia

“Generasi muda perlu memiliki pandangan yang luas untuk melihat peluang dan kesempatan yang ada.”

Sebuah pesan mendalam disampaikan salah seorang alumnus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Aisyah Mumary Songbatumis. Dara kelahiran Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat (NTB) ini adalah alumni Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris (PBI), Fakultas Pendidikan Bahasa (FPB) UMY yang saat ini tengah berkiprah di salah satu negara yang terletak di benua Eropa, Polandia.

Perjalanan hidup yang cukup menantang dihadapi gadis NTB yang kerap disapa Aisyah ini, hingga akhirnya bisa meraih impiannya untuk melanjutkan studi dan berkarir di luar negeri. Berawal dari tekadnya sebagai anak bungsu dari empat bersaudara dan harapan besar keluarga pada dirinya, Aisyah pun memutuskan untuk merantau ke luar pulau Jawa. Tepatnya pada tahun 2013 ia mendaftarkan dirinya sebagai mahasiswa UMY dan diterima untuk menempuh studi sarjana di program studi Pendidikan Bahasa Inggris/PBI UMY.

Bukan tanpa alasan pula Aisyah memilih PBI UMY. Kecintaan dan kesukaannya pada Bahasa Inggris lah yang mendorong dirinya untuk memilih FPB UMY, program studi PBI sebagai gelar sarjananya. Bahkan anak berdarah NTB ini menceritakan bahwa selama masa studinya di PBI UMY ia juga banyak dimintai bantuan oleh dosennya untuk mengoreksi kaidah penulisan Bahasa Inggris teman-temannya. Tak hanya itu, sejak masih duduk di bangku kuliah S1 pun, Aisyah bisa dikatakan juga sudah menjadi proofreader Bahasa Inggris untuk skripsi teman angkatannya.

Rupanya hal tersebut menjadi titik awal karir Aisyah dalam bidang pendidikan dan edukasi di Indonesia. Sehingga setelah menyelesaikan studi S1 – nya di UMY, ia mulai merintis bisnis lembaga pembelajaran Bahasa Inggris yang diberi nama Iruristic, yang berlokasi di Sampir, Kec. Taliwang, Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat.

“Iruristic merupakan English learning berbasis komunitas yang saya dirikan sejak tahun 2016 dan sudah terdaftar di data Kemdikbudristek (Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi). Inisiasi terbentuknya lembaga ini adalah karena adanya dorongan dari dosen – dosen PBI UMY dan teman – teman selama kuliah,” jelas Aisyah saat diwawancarai pada Selasa (04/02) secara online.

Namun, sebagaimana suatu usaha berdiri pasti akan mengalami pasang dan surut. Konsistensi untuk terus menjalankan bisnis tersebut menjadi salah satu tantangannya. Apalagi saat itu dia mengajar di dua kota yang berbeda, yakni Sumbawa Barat dan Sumbawa Besar. Jarak yang harus ditempuhnya pun cukup jauh. 125 km perjalanan pulang pergi ke dua kota tersebut harus ia tempuh dengan menggunakan sepeda motor.

Tantangan lainnya yang juga Aisyah alami kala itu adalah keinginan dalam lubuk hatinya untuk bisa melanjutkan studi ke jenjang magister. Selang dua tahun kemudian, tepatnya pada tahun 2018 Aisyah pun melanjutkan jenjang pendidikan magisternya di negara Eropa. Dengan sistem perkuliahannya yang berpindah-pindah negara dan universitas di setiap semesternya. Pada tahun 2018 di Vistula University Polandia, tahun 2019 di Leibniz Universität Hannover Amnesty, Jerman dan ESN Barcelona, Spanyol. Kemudian pada tahun 2021 di Erasmus Students Network (ESN) Amsterdam, Belanda. Dari sinilah karir internasionalnya sebagai seorang tenaga pendidikan dimulai pada saat masih berkuliah di Erasmus Students Network, Belanda, dengan mengambil jurusan Hubungan Internasional (HI).

“Saat itu saya ingin sekali mendapatkan pekerjaan di bidang HI, namun sulit untuk mendapatkan pekerjaan tersebut di tengah pandemi. Akhirnya saya mencoba melamar pekerjaan di salah satu sekolah swasta yang terletak di Wesola, Warsaw, Poland, setelah menyelesaikan studi master di Belanda pada tahun 2021. Sehingga sudah jalan tiga tahun ini saya bekerja sebagai pengajar pada mata pelajaran bahasa Inggris dan math,” tambahnya.

Aisyah juga mengungkapkan bahwa untuk proses izin bekerja di Polandia pun cukup mudah ia dapatkan, dikarenakan sudah memiliki ijazah eropa. “Jadi untuk pengurusan izin saya bekerja itu sebenarnya tidak ada. Namun, dikarenakan saya sudah memiliki ijazah dari Eropa, maka dalam melamar pekerjaan di Polandia itu lebih mudah. Hanya membutuhkan legalisir ijazah dari Kedutaan Besar Indonesia di Polandia,” jelasnya.

Tentu Aisyah menghadapi tantangan dalam proses mengajarnya di negara tetangga dengan budaya yang berbeda juga. Tantangan yang dihadapi Aisyah ini khususnya dalam kesepahaman menyamakan sudut pandang dengan tenaga pendidik lainnya. Namun, ia menilai hal tersebut sebagai keragaman perbedaan yang indah karena dapat membuka pola pikir Aisyah menjadi lebih luas dari sebelumnya.

“Kalau di Indonesia itu kan yang dicari kesamaan sudut pandang, sementara kalau di sini yang dicari justru perbedaan sudut pandang. Inilah yang menjadi tantangan tersendiri bagi saya,” kenangnya.

Namun, terlepas dari segala tantangan yang dihadapinya, Aisyah merasa menjadi seorang guru sudah menjadi bawaan DNA nya, dimana profesi mulia tersebut pun digeluti oleh orang tuanya. Lebih dari itu, wanita berdarah NTB ini meyakini bahwa belajar dan mentransfer ilmu yang dimilikinya merupakan cara terbaik untuk mendapatkan pembelajaran yang lebih dalam lagi.

“Menyampaikan ilmu kepada orang lainlah yang membuat ilmu bertahan lama dan jauh lebih melekat di otak kita. Saya juga percaya bahwa seorang guru itu lebih dari sekedar mengajar dan belajar, tetapi juga mengembangkan bangsa dan rakyat Indonesia sehingga selama saya di Eropa pun saya tetap melakukan transfer ilmu melalui Iruristic,” pungkas alumni PBI UMY.

Walaupun anak bungsu ini sudah berprofesi sebagai seorang guru, ia merasa perlu untuk memberikan kontribusi lebih bagi kemajuan pendidikan yang ada di dunia. Berangkat dari hal tersebut, Aisyah pun aktif dalam kegiatan edukasi non formal. Salah satunya dengan bergabung dalam Forum of European Muslim Youth and Student Organisation (FEMYSO) sebagai project coordinator dan MRN (Muslim Researchers’ Network).

Dari banyaknya pengalaman dan perjalanan hidupnya ini, Aisyah pun berpesan agar para generasi muda mau membuka jendela cakrawalanya lebih luas. “Generasi muda perlu memiliki pandangan yang luas untuk melihat peluang dan kesempatan yang ada,” tutup Aisyah. (NF)