Berita

American Corner UMY Peringati Hari Disabilitas Internasional

Tanggal 3 Desember selalu diperingati sebagai Hari Disabilitas Internasional (HDI) sebagai salah satu wujud untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap permasalahan atau hambatan yang dialami oleh penyandang disabilitas dalam sehari – hari. Lebih dari itu, peringatan ini menjadi representasi bentuk dari pengakuan masyarakat di dunia pada penyandang disabilitas guna membangun kepedulian untuk mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan disabilitas.

Dalam rangka memperingati Hari Disabilitas Internasional tersebut, American Corner UMY bersama Komunitas Telinga Hati menyelenggarakan seminar dengan tema “Diserve Abilities shared Humanity” pada Sabtu (21/12) bertempat di Ruang Rapat Gedung Dasron Hamid Research and Innovation Center Lantai Dasar, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).

Seseorang dapat dikatakan sebagai penyandang disabilitas ketika memiliki keterbatasan fisik, intelektual, mental, sensorik, ganda (dua keterbatasan), dan multi (lebih dari dua keterbatasan) dalam jangka waktu tertentu. Hal tersebut sebagaimana dijelaskan oleh anggota Sasana Inklusi & Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) dan Gerakan Optimalisasi Organisasi Difabel (GOOD) Rahmat Fahri Naim yang juga merupakan penyandang disabilitas autisme samar dan narkolepsi (gangguan sistem saraf yang menyebabkan rasa kantuk berlebih).

“Berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas dijelaskan bahwa ketika seseorang dalam jangka waktu minimal enam bulan atau maksimal seumur hidup mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan persamaan hak, maka baru dapat dikatakan disabilitas,” jelas Fahri.

Disabilitas pun pada dasarnya dibagi menjadi beberapa jenis. Pertama, fisik (keterbatasan fungsi gerak). Kedua, intelektual (kecerdasan di bawah rata – rata). Ketiga, mental (fungsi pikir, emosi, dan perilaku yang berbeda). Keempat, sensorik (terhambatnya salah satu fungsi panca indera. Kelima, ganda atau multi (memiliki lebih dari satu atau dua keterbatasan).

“Dari beberapa jenis disabilitas itu, saya juga menjadi penyandang disabilitas ganda yang tidak terlihat yakni autisme dan narkolepsi. Dimana, saya baru mengetahui hal tersebut pada umur 13 tahun dan 20 tahun,” pungkasnya. Tanda – tanda disabilitas tersebut sebenarnya dapat diketahui sejak kecil, tetapi Fahri memaparkan terkadang indikasi ini juga tidak jarang muncul ketika sudah dewasa.

Namun sayangnya faktor stigma sosial, kurangnya fasilitas pendukung, dan keterbatasan keterampilan menjadi salah satu penghalang bagi penyandang disabilitas untuk berkembang dan mendapatkan pekerjaan. Dapat dikatakan juga mayoritas lowongan pekerjaan hanya untuk disabilitas jenis daksa ringan dan sensorik saja.

“Bahkan, sebagai seorang individu yang tetap memiliki identitas diri terkadang cenderung tidak divalidasi dan tidak dipercaya baik itu oleh sesama disabilitas maupun tenaga kesehatan. Terkait dengan kebijakan juga menjadi penghalang bagi penyandang disabilitas, karena tools atau alat kesehatan di Indonesia untuk mendeteksi autisme masih sangat minim dan beberapa pengobatan tidak bisa tercover oleh BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial),” tambah Fahri.

Hambatan atau tantangan ini rupanya juga dialami oleh Fahri. Untuk itu, ia pun menegaskan bagi penyandang disabilitas agar benar – benar mempelajari kondisi diagnosis termasuk memahami pemicu dan kelemahan diri sendiri. Mengaitkan kondisi dengan kemampuan atau potensi diri juga penting untuk tetap bisa berkembang secara realistis.

“Terpenting adalah dukungan dan kepercayaan yang diperoleh dari keluarga. Sebab keluarga memiliki peran besar pada kestabilan dan kesembuhan diri kita,” tutupnya. (NF)