Definisi hoaks menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) diartikan sebagai berita bohong, dan dalam beberapa tahun terakhir ada begitu banyak hoaks yang bertebaran di masyarakat. Masalah yang kemudian muncul adalah mengapa ada banyak orang yang mempercayai berita bohong tersebut. Dr. Andrew Garner dari University of Wyoming (UWYO), Amerika Serikat menjelaskan bahwa untuk memahami fenomena ini hal yang perlu diketahui adalah bagamaina masyarakat memproses informasi yang mereka dapatkan. Hal ini diungkapkan ketika Garner berkesempatan mengisi kuliah umum yang diadakan di Ruang Sidang Direktur Pascasarjana Gedung Kasamn Singodimedjo pada hari Senin (30/4), kampus terpadu Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).
Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas Garner mencontohkan kasus yang terjadi di Amerika Serikat. “Untuk pertanyaan sederhana seperti apa agama presiden Obama saja, lebih dari 30 persen masyarakat Amerika percaya bahwa Obama bukan penganut kristiani. Ini menjadi masalah yang serius karena data ini menunjukkan bahwa masyarakat Amerika ternyata sangat mudah percaya dengan berita-berita yang tidak benar yang cenderung membohongi, terlebih untuk berita yang melibatkan opini bersifat politis,” ujarnya.
“Untuk memahami proses pengolahan inforasi masyarakat dan mengapa mereka begitu mudah mempercayai berita semacam ini, ada 2 hal yang perlu kita mengerti yaitu seberapa besar informasi yang mereka terima secara politis dan seberapa kuat predisposisi yang mereka miliki. Untuk paparan informasi, masyarakat dibagikan menjadi 2 kategori yaitu high informed dimana mereka terekspos dengan banyak informasi politik baik dengan cara diberitahu atau mereka mencari sendiri informasi tersebut. Kedua adalah masyarakat yang low informed dimana mereka kurang terekspos dengan informasi politis dan menganggap politik adalah hal yang membosankan. Selanjutnya predisposisi adalah kecenderungan yang dimiliki oleh seseorang untuk mendukung suatu isu, ini bisa didasarkan pada agama, politik, ras dan lainnya ,” papar Garner.
Garner menjelaskan bahwa dari 2 faktor di atas dapat menjelaskan bagaimana masyarakat dapat mempercayai berita bohong. “Dari data yang saya dapatkan, orang yang high informed dapat lebih mudah termakan oleh hoaks. Dikarenakan mayoritas tidak melakukan cek ulang terhadap informasi yang mereka dapatkan. Ini kemudian juga dikuatkan oleh predisposisi yang mereka miliki. Misal dalam kasus yang terjadi di Amerika, ketika ada sebuah informasi hoaks yang dikeluarkan oleh simpatisan partai Demokrat yang menyerang partai Republik, maka berita ini akan mudah diterima oleh simpatisan partai Demokrat lainnya,” jelasnya. Garner menyebutkan meskipun data yang ia sajikan mungkin dapat mewakili fakta dari sebagian besar mayoritas masyarakat, namun ini tidak bisa digunakan untuk mengukur kemampuan pengolahan informasi untuk individual.
Menurut Garner ini merupakan sebuah bentuk dari confirmation bias yaitu keadaan dimana orang hanya mau mempercayai hal yang menguatkan predisposisi yang sudah mereka miliki sebelumnya. Hal ini kemudian juga semakin diperbesar dengan bebasnya aliran informasi masa kini. “Dengan adanya internet dan juga gawai di tangan setiap orang di Amerika untuk mengaksesnya, ini semakin memudahkan aliran informasi untuk dikonsumsi oleh masyarakat baik berita yang benar ataupun hoaks sekalipun. Karena itu kita harus memperhatikan konsekuensi yang kita miliki dengan kemudahan yang kita milki,” ungkapnya. (raditia)