Prof. Syamsul Maarif, Kepala BNPB tahun 2008-2015 mengatakan bahwa antisipasi bencana di Indonesia masih perlu ditingkatkan. Dari segi informasi yang akurat, tidak saling menyalahkan namun saling memperkuat, serta ditingkatkan kebijakan dan peraturan kebencanaan. Selain itu, Syamsul juga menjelaskan bahwa sistem sosial merupakan pluralitas tindakan untuk menanggapi serta menangani darurat bencana.”Sistem sosial merupakan pluralitas, yakni tindakan unsur-unsur sosial yang berinteraksi satu dengan yang lainnya sesuai dengan norma untuk mencapai tujuan bersama. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan pluralitas tindakan adalah sinergitas dengan mendukung, mengkritik serta mengoreksi. Seperti Muhammadiyah yang terus bergerak kedepan untuk proaktif dalam menanggulangi kebencanaan,” paparnya dalam diskusi panel Pertemuan Ilmiah Muhammadiyah Kebencanaan yang digelar oleh Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Kamis (30/1).
Selanjutnya, Syamsul juga menjelaskan penanganan darurat bencana yang berawal dari siaga darurat, tanggap darurat, transisi darurat ke pemulihan, kemudian adanya kolaborasi antara pemerintah, pemerintah lokal, relawan pusat, relawan lokal, serta masyarakat terdampak. “Penanganan darurat selanjutnya adalah sapalibatisme dan vertizontal, yaitu bagaimana hubungan pemerintah yang bersifat birokratis memiliki jiwa relawan saat bencana terjadi di suatu daerah. Dan yang terakhir adalah kepemimpinan yang fasilitatif termasuk dalam hal pemberdayaan kepada masyarakat,” jelasnya.
Syamsul juga menjelaskan bahwa budaya sadar bencana berawal dari keluarga.”Untuk menyiapkan masyarakat yang tangguh bencana dimulai sejak dari keluarga terlebih dahulu. Dengan metode dasawisma, di dalam keluarga harus memberikan pengetahuan tentang ancaman dan risiko bencana serta cara menghindari dan mencegahnya, kemudian sadar penegakkan hukum dan peraturan, menumbuh kembangkan sifat gotong royong, habitus, serta tangguh bencana yang meliputi informasi, antisipasi, proteksi, dan adaptasi,” tandasnya.
Kemudian dilanjutkan oleh Prof. Teuku Faisal Fathani, Dosen Universitas Gadjah Mada menjelaskan bahwa ketangguhan merupakan irisan dari siap siagaan, responsif, pengurangan dan pemulihan bencana yang dilakukan dalam proporsi yang seimbang. “Pengurangan risiko itu rumit, sulit dan butuh waktu lebih lama untuk melihat hasilnya. Fokus pada risiko bencana bertujuan untuk mengurangi kerusakan yang disebabkan oleh bahaya alam seperti gempa bumi, banjir, kekeringan dan badai, melalui etika pencegahan. Oleh karena itu perlu mengubah paradigma dari penanganan ke pengurangan, dari kerawanan kita harus fokus ke risiko, dari mandat tunggal menjadi integrated, dari sistem terpusat menjadi tanggung jawab bersama,” paparnya.
Faisal juga menjelaskan bahwa untuk standar ISO/SNI saat ini dapat digunakan untuk misi kemanusiaan yaitu digunakan pada standar sistem peringatan dini bencana alam. ”Sudah ada dua SNI yang sudah terbit, yaitu SNI 8236 tahun 2017 untuk sistem peringatan dini longsor dan SNI 8240 tahun 2019 untuk sistem peringatan dini multibencana, dan juga ada ISO yang sudah publish adalah ISO 22327 dan ISO 22328 untuk multi bencana. Untuk sistem peringatan dini tidak boleh sembarangan kita memasang alat sampai kita mengetahui risiko bencana. Oleh karena itu juga perlunya sosialisasi desiminasi kepada masyarakat untuk menjelaskan bahwa sistem peringatan dini juga membutuhkan tim siaga bencana, peta evakuasi, SOP, Alat sistem peringatan dini, serta komitmen dari pemerintah pusat, pemerintah lokal serta relawan untuk menjaga, mengoperasikan serta merawat sistem tersebut,” jelas penemu teknologi mesin deteksi longsor ini lagi.
Sementara itu, Dr. Rahmawati Husein, Wakil Ketua MDMC menjelaskan tentang upaya Muhammadiyah dengan mengurangi risiko bencana. ”Muhammadiyah mencoba untuk membuat program yang berkaitan dengan masyarakat tangguh bencana, baik masyarakat yang ada di kota maupun di desa. Tidak sekedar tangguh bencana, namun juga kegiatan pengurangan risiko bencana yang ada di sekolah/madrasah sejumlah 18.000 yang dimiliki oleh Muhammadiyah dengan sekolah aman bencana yang sudah diluncurkan pada tahun 2018. Kemudian di rumah sakit yang sudah ada disaster hospital plan sejak tahun 2008 hingga kampus aman bencana. Upaya-upaya di Muhammadiyah tidak hanya respon kebencanaan namun juga pengurangan risiko kebencanaan,” tutup Dosen Ilmu Pemerintahan UMY. (Sofia)