Sebagai sebuah organisasi, Muhammadiyah memiliki sejarah yang amat dekat dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Mengingat sejarahnya yang sudah berdiri sejak sebelum kemerdekaan RI, tidak mengejutkan apbila kini Muhammadiyah tersebar dan memiliki banyak anggota di seluruh wilayah Indonesia. Namun ternyata di masa awalnya, persebaran Muhammadiyah justru tidak dilakukan oleh mereka yang bukan anggota dari organisasi tersebut. Hal tersebut disampaikan oleh Kim Hyung-Jun dalam Diskusi Bulanan Kemuhammadiyahan yang diadakan oleh Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Kegiatan tersebut dilaksanakan pada hari Rabu (30/1) di ruang sidang direktur gedung Kasman Singodimedjo kampus terpadu UMY.
Profesor di bidang Budaya dan Antropologi di Kangwoon National University, Korea Selatan tersebut melakukan penelitian di salah satu desa di Gamping, Sleman di tahun 90-an. Melalui penelitian yang dia lakukan tersebut Kim menemukan bahwa perubahan yang terjadi di masyarakat banyak dipengaruhi oleh faktor eksternal. “Ada perubahan yang terjadi di masyarakat yang saya teliti, terutama bagaimana mereka menyikapi dan memaknai Islam. Di sini perubahan yang saya maksud adalah transisi dari mereka yang hanya mengaku Islam, atau dalam kata lain Abangan menjadi yang melakukan dan menerapkan Islam. Perubahan yang terjadi pada mereka banyak dipengaruhi oleh usaha yang dilakukan Khotib yang secara rutin berdakwah di kampung tersebut,” ujarnya.
Menurut Kim yang menjadi hal menarik dari fenomena tersebut adalah ketika para khotib yang berdakwah di kampung bukan bagian dari Muhammadiyah. “Ternyata para Khotib yang menjadi medium pembelajaran agama masyarakat tersebut, tidak ada yang merupakan lulusan pondok ataupun anggota dari Muhammadiyah. Mereka merupakan lulusan dari sekolah dan perguruan tinggi bukan agama, dan hal tersebut justru mendorong mereka untuk lebih dalam mempelajari agama dan kemudian mendakwahkannya. Mereka menjadi contoh pribadi pendakwah yang berpendidikan tinggi dan hal tersebut menjadi gambaran bagus bagi warga mengenai Islam yang modern,” jelasnya.
“Yang disayangkan adalah minimnya peran Muhammadiyah yang dapat dikatakan minim saat itu. Padahal di kampung tersebut terdapat Ranting Muhammadiyah yang sudah berdiri sejak 1930-an, namun saat itu jarang ada pengajian atau pun kegiatan keagamaan yang dilaksanakan. Perubahan yang terjadi dalam transisi warga kurang dapat diakomodasi oleh pengurus Muhammadiyah setempat,” lanjut Kim.
Dipaparkan oleh Prof. Dr. Sjafri Sairin, M.A., salah seorang narasumber lain dalam diskusi tersebut bahwa penelitian yang dilakukan Kim menjadi pembuktian mengenai creative minority. “Para kotib yang berdakwah di kampung yang diteliti oleh Kim menunjukkan bahwa kelompok minoritas yang kreatif dapat melakukan perubahan dengan memberikan pengaruh pada suatu lingkungan. Dalam kasus ini mendorong para Abangan untuk menjadi pemeluk agama yang lebih utuh, ini yang menjadi semangat awal Muhammadiyah yang berperan sebagai reformis saat itu,” ujarnya yang juga menjadi dosen di Program Doktor Politik Islam – Ilmu Politik Pascasarjana UMY.
Sjafri juga menyebutkan bahwa fakta dimana kurangnya peran Muhammadiyah di kampung tersebut saat itu menjadi pelajaran dalam metode dakwah Muhammadiyah di masa kini. “Sebagai sebuah organisasi masyarakat, Muhammadiyah harus bisa untuk mengayomi masyarakat itu sendiri. Muhammadiyah harus bisa menjadi home bagi masyarakat, baik secara harfiah dan juga maknawi agar masyarakat dapat nyaman dalam Muhammadiyah,” ujarnya. (raditia)