Perlindungan hukum bagi korban pelecehan seksual bisa melemah, apabila kurangnya bukti untuk menjerat pelaku. “Butuh minimal dua alat bukti yang akurat untuk menjerat pelaku,” ujar Dr. Yeni Widowaty S.H., M.H., pakar Hukum Pidana, Viktimologi, Kriminologi, dan Hukum Pidana Lingkungan, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) saat dihubungi, Senin (6/9).
Baru-baru ini kita digemparkan dengan kasus perundungan dan pelecehan seksual yang terjadi di dalam lingkungan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat. Awalnya kasus ini terkuak setelah pengakuan korban yang berinisial MS pegawai KPI Pusat viral di media sosial.
Saat ini, kasus tersebut tengah diproses oleh Polres Jakarta Pusat untuk diselidiki lebih dalam. KPI pun telah membebastugaskan delapan terduga pelaku pelecehan terhadap MS. Namun, Yeni mengungkapkan bahwa jika bukti yang disajikan kurang akan bisa menjadi bumerang untuk si korban, pelaku bisa melaporkan balik dengan pasal 27 ayat (3) UU ITE dan KUHP pasal 310 tindak pidana pencemaran nama baik.
“Saya khawatir, jika bukti yang disajikan tidak terlalu kuat, akan susah untuk korban. Perlindungan hukum untuk korban akhirnya lemah, kemudian bisa terjadi reviktimisasi dari pelaku yang melaporkan balik dengan tuduhan pencemaran nama baik, ini pandangan pribadi saya,” sambung Yeni.
Berdasarkan kronologi kasusnya, MS diterima sebagai pegawai KPI Pusat pada tahun 2011. Menurut pengakuannya, sejak saat itu, berjalan hingga tahun 2014 dia kerap dirisak, diintimidasi, dicaci, dihina, dan diminta membelikan makan oleh senior-seniornya di kantor. Dan berlanjut di tahun 2015 korban mendapat kekerasan dan pelecehan seksual dari pelaku.
Sempat jatuh sakit akibat mental down dan trauma berkepanjangan. Korban mengadu ke Komnas HAM melalui surel di tahun 2017, tetapi dia diarahkan untuk melaporkan ke kepolisian karena peristiwa yang dialaminya dinilai masuk ranah pidana. Pada 2019 MS mengadu ke Polsek Gambir, namun polisi justru menganjurkan menyelesaikan secara internal kantor lebih dulu. Hingga akhirnya kasus ini viral di media sosial pada awal September tahun 2021 kemarin.
“Kalau kemudian sekarang baru terungkap, tidak mudah untuk mencari bukti yang dipunyai korban. Dari segi hukum, menurut pasal 128 KUHAP itu kan harus ada keterangan saksi, keterangan ahli, atau surat. Jadi ada dua alat bukti minimal untuk menjerat pelaku. Memang tidak mudah untuk mengungkap kasus seperti ini.”
Yeni juga menyayangkan berlarutnya kasus pelecehan ini, sebab enam tahun kemudian baru terungkap dan diproses. “Berdasarkan hukum pidana, harusnya jika ada yang melaporkan kasus seperti itu segera ditindak lanjuti. Kasihan korban mengalami hal itu selama bertahun-tahun.”
Hukum di Indonesia sendiri memang korban kurang diperhatikan, hukum peradilan Indonesia masih terfokus pada si pelaku. “Seolah-olah dengan diberikannya sanksi kepada pelaku, itu sudah cukup. Padahal korban itu kan seharusnya mendapatkan perlindungan. Apalagi di kasus ini, korban sudah bertahun-tahun mengalaminya, pasti ada trauma, ketakutan, dan psikis yang terganggu,” tukasnya. (Hbb)