Berita

ASEAN Kenalkan ASEAN Institute for Peace and Reconciliation (AIPR)

Minimnya kepercayaan dan kedamaian mengakibatkan sebuah konflik terjadi. Konflik menjadi besar lantaran perbedaan yang semakin kompleks. Tidak adanya lembaga ataupun istitusi yang menangani konflik atau permasalahan tersebut juga yang menjadikan konflik semakin besar. Karena itulah ASEAN membentuk institusi riset perdamaian, Institute for Peace and Reconciliation (AIPR).

Hal itulah yang menjadi benang merah dalam pemaparan Pelaksana Tugas Wakil Tetap Republik Indonesia untuk ASEAN, H.E Chilman Arisman, saat menjadi keynote speaker dalam Seminar Peran ASEAN Institute for Peace and Reconciliation (AIPR). Seminar yang dilasanakan di Gedung K.H. Ibrahim Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) pada Kamis (23/11) dan bekerjasama dengan UMY ini juga merupakan bentuk sosialisasi Perutusan Tetap Republik Indonesia untuk ASEAN (PTIR) dalam mengenalkan institusi barunya kepada masyarakat dan civitas akademika, yakni AIPR.

Dalam pemaparannya, Chilman mengatakan bahwa adanya institusi yang berfokus pada riset perdamaian sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk memfasilitasi dalam penyelesaian konflik. “Seperti halnya ASEAN, kami melihat bahwa ASEAN itu ada dan sangat dihargai, karena memang ASEAN memiliki wahana untuk mengurai perbedaan, serta duduk bersama melakukan dialog,” ujarnya.

Selain itu, Chilman juga menjelaskan alasan memilih UMY dalam upaya mengenalkan AIPR kepada civitas akademika di Yogyakarta. “Salah satu alasan kami memilih UMY untuk memperkenalkan AIPR karena kami menggarisbawahi peran Muhammadiyah atas bantuannya di Rakhine State. Kami melihat bahwa Muhammadiyah aktif dalam memberikan bantuan kepada kaum muslim di sana. Kami juga menganggap bahwa Muhammadiyah dan UMY merupakan garda terdepan dalam memberikan bantuan tersebut,” jelasnya.

Rektor UMY Dr. Ir. Gunawan Budiyanto, M.P dalam sambutannya juga melihat bahwa Indonesia memiliki peluang dalam perdamaian. “Indonesia memiliki peluang lebih besar untuk berbicara mengenai perdamaian dan rekonsiliasi. Indonesia sebagai salah satu ornamen perdamaian dan rekonsiliasi. Kita memiliki peran besar, kita memiliki bonus demografi yang cukup besar pula. Pada saat kami menghadiri forum rektor universitas-universitas Asia Pasifik di Taiwan, ada isu menarik yang dibawa Indonesia, yakni “The loss of humanity”. Dari konsep tersebut dapat kita ketahui bahwa konsep humanitas saat ini tidak lagi dipandang sebagai sebuah ornamen kehidupan, tapi lebih dipandang sebagai konsep kecepatan dari bertemunya dua kepentingan,” jelasnya.

Selain itu, menurut Gunawan, sebagai upaya untuk mendukung perdamaian, UMY juga melaksanakan Kuliah Kerja Nyata di beberapa daerah konflik, seperti Tawaw dan Davao.

Sementara itu, menurut Rezlan Ishar Jenie, selaku Direktur Eksekutif AIPR dibentuknya AIPR tersebut adalah untuk mendorong studi tentang perdamaian dan rekonsiliasi. Sebab menurutnya, saat ini memang belum ada institusi yang fokus pada studi perdamaian dan rekonsiliasi. “Karena itu kami memperkenalkan institusi ini kepada civitas akademika dan masyarakat luas, dan melakukan kerjasama dengan mereka. Agar institusi ini bisa berkembang lebih jauh bersama dengan institusi pendidikan lainnya. Selain itu, dari studi-studi perdamaian dan rekonsiliasi yang dilakukan dalam institusi ini juga diharapkan bisa menjadi masukan bagi pengambil kebijakan dalam menentukan norma-norma demi terwujudnya perdamaian dan rekonsiliasi di kawasan ASEAN,” imbuhnya. (Darel)