Berita

Bangsa yang Kuat adalah Bangsa yang Produktif, Bukan yang Konsumtif

Dalam memaknai sebuah bangsa yang kuat, ada banyak kategori, baik dari segi ekonomi, sosial, ataupun politik. Namun menurut Bupati Bojonegoro, Drs. H. Suyoto, M.Si., bangsa yang kuat adalah bangsa yang produktif dan bukan yang konsumtif.

Hal tersebut disampaikan Suyoto dalam pidatonya di Malam Refleksi Milad 36 tahun Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada Selasa malam (28/02) di Sportorium UMY. Suyoto mengungkapkan, dari refleksi pada kabupaten Bojonegoro, bangsa yang kuat adalah kumpulan para pemberi, dan bukan para peminta.

Disebutkan Suyoto, korelasinya dengan dalil dalam Al-Qur’an, dalam ayat ta’awanu ‘alal birri wat-taqwa dahulu dimaknainya sebagai ayat untuk meminta pertolongan kepada orang lain. “Dulu ayat itu saya pakai untuk cari bantuan. Jadi kalau saya membuat proposal mohon bantuan, saya selalu imbuhkan ayat tersebut. Tetapi setelah saya jadi bupati ayat itu saya tafsirkan berbeda, yakni saling memberi pertolongan, dan bukan saling meminta tolong. Ayat tersebut bukan ayatnya orang yang lemah,” jelas Suyoto.

Dilihat dari 5 tahun terakhir perkembangan Indonesia, Suyoto menjelaskan banyak pelajaran yang perlu diambil bagi masyarakat. “Perdagangan ekspor kita lumayan turun. Lalu, yang namanya pajak kita 3 sampai 4 tahun terakhir tidak pernah mencapai target. Itu karena kita tadinya mengandalkan ekspor sumber daya alam. Tiba-tiba harga minyak, harga batu bara, nikel, termasuk juga CPO (Crude Palm Oil) atau minyak kelapa sawit turun. Dan karena turun itu maka uang kita berkurang, maka defisit anggaran tinggi,” ungkap Suyoto.

Suyoto menambahkan bahwa era saat ini disebut oleh Indeks sedang terjadi de-industrialisasi. Hal tersebut ditunjukkan dengan perubahan perilaku impor Indonesia yang sebelumnya banyak mengimpor bahan baku. Sedangkan sekarang, impor Indonesia beralih pada impor barang jadi.

“Artinya kita lama-lama menjadi konsumtif, bukan produktif. Saya kalau ketemu politisi-politisi yang usianya rata-rata 65 tahun itu yang mereka pikirkan adalah punya tambang dimana, dan lain-lain. Maka politisi itu rata-rata pemburu rente (rent seeker). Dan itu juga ada di kabupaten saya, karena 25% minyak Indonesia dihasilkan dari Bojonegoro. Jadi saya menghadapi pemburu rente ini menjadi makanan pokok sehari-hari saya,” ungkap Suyoto.

Suyoto menyayangkan kesimpulan bahwa masyarakat selalu berfikir bagaimana memburu warisan. Bukan bagaimana menciptakan warisan. “Ini menjadi kegelisahan saya. Padahal saya termasuk yang percaya rumusan everyone lives by selling something (setiap orang hidup dengan menjual sesuatu). Kalau seseorang tidak bisa menjual sesuatu, sebenarnya ia tidak bisa hidup,” ujar mantar Rektor Universitas Muhammadiyah Gresik tersebut.

Terkait dengan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Suyoto menyebutkan bahwa UMY dapat bertahan hingga sekarang karena bisa menjual sesuatu. “Kalau UMY berhenti jualan, maka UMY pasti ditinggalkan orang. Bapak ibu dosen jualan juga. Kalau mahasiswa ditanyai siapa yang paling berkesan dan jawaban mereka bukan pak dosen atau bu dosen, maka menurut saya jualannya gagal. Tetapi kalau UMY ini berkembang terus, maka jualannya sukses,” terang Suyoto.

Suyoto juga menghimbau agar setiap orang ataupun institusi yang berjualan, untuk tidak melupakan produk atau nilai dalam barang yang dijual. “Ini kadang-kadang orang itu lupa jualannya. Jualan pendidikan itu adalah bisnis mengubah manusia dari yang biasa-biasa menjadi luar biasa. Kalau kita gagal membuat orang bisa jualan atau gagal membuat orang yang produktif, maka negara itu juga gagal. Oleh karenanya perguruan tinggi harus mampu mencetak manusia-manusia yang unggul,” ujar Suyoto. (deansa)