Berita

Banyak BLU Belum Mampu Kelola Keuangan

Sejak diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 mengenai Badan Layanan Umum (BLU), banyaknya insitusi pemerintah berubah menjadi BLU diharapkan dapat memperbaiki kinerja penyelenggaraan pelayanan publik. Namun kenyataanya, sejumlah BLU justru kesulitan beradaptasi dengan sistem pengelolaan keuangan ala BLU. Akibatnya, harapan perbaikan kinerja pun tidak berjalan baik.

Demikian disampaikan Atik Septi W. M.Si, Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (IP UMY) saat memaparkan hasil penelitiannya berjudul “Evaluasi Kebijakan Pengelolaan Keuangan BLU” di Seminar Series Jussuf Kalla School of Government (JKSG) di Ruang Seminar lantai 4 Gedung Ar Fahrudin A Kampus Terpadu UMY, Rabu (8/2). Atik melakukan penelitian ini bersama dosen IP UMY lainnya yaitu, Dr Ulung Pribadi dan Dr. Suranto, M.Pol.

Menurut Atik, dari 129 satuan kerja (satker) yang berbentuk BLU meliputi 117 satker penyedia barang/jasa, 3 satker pengelola wilayah, dan 6 satker pengelola dana khusus, kebanyakan satker mengalami kesulitan dalam mengelola keuangan akibat peraturan yang begitu rumit tidak sebanding dengan sumber daya manusia yang kompeten. Menurutnya, banyak institusi yang tidak mengerti betul sistem pengelolaan keuangan BLU.

Atik selanjutnya menjelaskan, sebaiknya, ada semacam sosialisasi lebih mendalam yang diselenggarakan bagi para pengelola keuangan pada tiap satker. Hal ini menurutnya sangat penting karena saat pengelolaan keuangan tidak sejalan dengan otonomi yang diberikan, pelayanan satker tersebut kepada masyarakat ikut tidak baik. “JIka tidak ada peningaktan pengelolaan keuangan, bisa jadi banyak BLU yang dikembalikan kepada bentuk semula.” terang Atik

Sementara menurut Dr. Ulung Pribadi, permasalahan ini lebih jauh bisa memberikan peluang pada penyalahgunaan kewenangan otonomi pada salah satu sistem keuangan BLU yaitu perbaikan gaji atau remunerasi. Menurutnya, kebutuhan remunerasi justru dibebankan kepada masyarakat. “Rumah Sakit misalnya, otonomi mengakibatkan naiknya biaya pemeriksaan pasien misalnya. Bisa juga penambahan item-item yang biayanya dibebankan kepada pasien. Sehingga BLU justru tidak menerapkan pemerataan ke seluruh lapisan masyarakat yang menjadi tujuan adanya BLU” tegasnya.

Pada akhirnya Ulung mengusulkan, seharusnya perencanaan keuangan BLU melibatkan stakeholder atau pengguna lain yang ikut diundang untuk merencanakan. Hal ini untuk memberi harga yang rasional bagi setiap pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. “Hasil temuan pada penelitian memperlihatkan harga pelayanan yang meningkat, misalnya di rumah sakit. Seharusnya ada standar pembiayaan yang dirancang bersama” pungkasnya. (fariz)