Berita

Bela Negara Bukan Hanya Soal Militer

IMG_2112Bela Negara bukan hanya berarti harus menjadi seorang pejuang militer untuk mempertahankan negeri ini dari serangan asing. Pasalnya, saat ini sudah banyak praktik imperialism yang tidak menggunakan metode militer, melainkan melalui cara-cara modern yang tidak kasat mata. Imperialisme sendiri merupakan politik untuk menguasai wilayah lain demi kepentingan pihak yang menguasai. Dengan kata lain, penjajahan modern saat ini dilakukan melalui skenario perang modern.

Hal tersebut yang disampaikan langsung oleh Drs. M. Afnan Hadikusumo, Ketua Panitia Perancang Undang-Undang DPD RI, dalam seminar Bela Negara dalam Perspektif Pertanian pada Sabtu (09/01) di Ruang Amphi Teater gedung F UMY. “Perang modern ini tidak menggunakan hard power tetapi menggunakan soft power bahkan smart power. Negara-negara yang kaya akan Sumber Daya Alamnya yang menjadi sasaran perang modern,” tutur cucu Ki Bagus Hadi Kusumo tersebut.

Dalam seminar tersebut, Afnan juga memaparkan bahwa perang modern itu mirip dengan apa yang disebutkan oleh Jean Tirole, professor ekonomi Universitas Toulouse, sebagai proxy war atau asymmetric warfare. Yaitu suatu bentuk perang yang memperebutkan pengaruh ekonomi dan politik di suatu negara tanpa keterlibatan langsung negara yang melakukan agresi.

“Fakta nyata dari perang ini diawali ditemukannya banyak sekali UU bercorak neoliberal yang membangun kerangka legal sistem neoliberal. Setelah itu diikuti dengan implementasi UU yang sudah berbau neo-liberal untuk menguasai perekonomian negeri ini,” jelas Afnan. Ia menambahkan dengan berubahnya undang-undang yang bercorak neoliberal tersebut menjadikan bidang perminyakan di Indonesia dikuasai oleh asing. “Data pada tahun 2011 menyebutkan Chevron milik Amerika Serikat menguasai 44%. Sedangkan Pertamina dan mitra yang dianggap mencerminkan penguasaan nasional hanya menguasai 16%,” jelas Afnan.

Penguasaan pasar dalam negeri oleh asing tersebutlah yang mengindikasi adanya perang proxy. Selain itu pada sektor perbankan, saham terbesar dari beberapa bank yang ada di Indonesia masih dimiliki oleh asing. Afnan memberikan contoh Bank UOBI yang 100% dimiliki oleh asing, CIMB Niaga 60,38%nya dikuasai asing dan bahkan Bank Tabungan Pegawai Nasional (BTPN) yang 71,6% nya dikuasai asing. “Dampaknya adalah kalau pihak asing mengambil semua dana yang mereka tanamkan pada perbankan di Indonesia, maka akan berakibat pada kolaps-nya Indonesia,” terang Afnan.

Sedangkan pada sektor pertanian juga hampir terjadi hal yang sama. Afnan menyebutkan bahwa menurut data 2012-2012, Indonesia masih mengimpor beberapa produk mentah dari luar negeri. Produk yang diimpor antara lain 1,8 juta ton kedelai, 1,2 juta ton jagung, 1,5 juta ton garam, bahkan 2 juta ton beras. “Indonesia kaya akan sumber daya alam, namun SDA tersebut dimanfaatkan oleh asing dan masyarakat Indonesia dipaksa untuk membeli produk asing hasil pengolahan SDA milik Indonesia sendiri,” tambah Afnan.

Penguasaan sumber daya pangan oleh pihak asing menimbulkan bahaya tersendiri bagi eksistensi suatu negara, sebab pihak asing dapat memainkan skenarionya dan masyarakat Indonesia hanya akan mengikuti kemauan pihak asing tanpa mengelak. Hal seperti itu, pasti berpengaruh terhadap stabilitas yang pada akhirnya mengganggu daya tahan suatu bangsa. Sedangkan kecukupan pangan bagi masyarakat akan berdampak kepada kesejahteraan masyarakat. Ketika masyarakat sejahtera, maka akan tumbuh sikap kecintaannya kepada tanah airnya. “Oleh karena itu keberhasilan petani dan para ahli pertanian dalam mengelola lahan-lahan sumber pangan sampai dengan panen merupakan sumbangsih yang nyata dalam rangka mencegah kelangkaan pangan. Jadi, bela negara itu juga bisa dilakukan dengan meningkatkan produksi hasil pertanian di Indonesia, supaya dapat bersaing dengan produk Indonesia. Dan bukan hanya produk asing saja yang mendominasi pasar Indonesia,” tutup Afnan. (Deansa)