Semenjak Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Sarpin Rizaldi membacakan putusan yang diajukan oleh Budi Gunawan pada Senin 16 Februari lalu, yang mengabulkan permohonan BG dan menyatakan tidak sahnya penetapan tersangka terhadapnya. Menurut Dosen Hukum Pidana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Dr. Trisno Raharjo, SH., M.Hum menyatakan bahwa walaupun pengadilan mengabulkan permohonan BG dan menyatakan tidak sah penetapan tersangka terhadap BG, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tetap bisa menetapkan kembali BG dengan penambahan alat bukti baru.
“Hakim menyatakan tidak sah Surat Perintah Penyidikannya (Sprindik), berarti sprindik itu tidak lagi berlaku terhadap status tersangka BG. Tetapi saya katakan bahwa dengan tidak jadinya tersangka bukan berarti tidak mungkin dia jadi tersangka kembali, ada peluang dia kembali menjadi tersangka jika kemudian bukti itu disusun kembali oleh KPK dan mengarah kepada kasus BG. Hilangnya penetapan tersangka dari sidang Praperadilan tidak berarti jika suatu waktu BG tidak bisa jadi tersangka kembali. Potensi kembali jadi tersangka itu ada jika KPK menambah dengan alat bukti lain untuk mendukung alat bukti yang telah dilemahkan di pengadilan,” ujar dosen Hukum Pidana UMY ini.
Trisno mengatakan, bahwa status tersangka BG kekuatan hukumnya hanya Sprindik yang dikeluarkan oleh KPK saja. “Jika KPK punya keyakinan bahwa bukti-bukti lain itu ada, dan lebih banyak dan kemudian bisa di olah ulang. Maka kemungkinan tersangkanya bisa ditetapkan kembali, akan tetapi hal ini juga merupakan wewenang KPK, apakah KPK akan menetapkan kembali BG atau tidak,” jelas Trisno.
Kemudian, Trisno menjelaskan, bahwa kalau presiden akan melatik BG sebagai KAPOLRI, maka sepenuhnya ini merupakan pilihan presiden, apakah presiden akan melihat peluang BG yang memungkinkan untuk menjadi tersangka kembali, atau presiden tetap melantik BG tanpa menghiraukan peluang-peluang hukum yang mungkin muncul terhadap BG dengan statusnya sebagai KAPOLRI.
Trisno menambahkan, BG juga mempunyai hak kembali untuk mengajukan praperadilan kalau dirinya ditetapkan kembali menjadi tersangka. “Jika kemudian BG kembali menjadi tersangka, BG tetap memiliki hak untuk mengajukan Praperadilan kembali. Tetapi jika hal tersebut disetujui oleh hakim, hakimnya kan belum tentu hakim yang sama, bisa saja hal itu tidak disetujui oleh hakim, dan bisa pula disetujui. Ini sepenuhnya wewenang pengadilan untuk menguji permohonan yang diajukan. Maka kasus seperti ini bisa-bisa berputar disitu saja,” jelasnya.
Selain itu, menanggapi wacana untuk melakukan Peninjauan Kembali (PK), Trisno menjelaskan hal tersebut secara normatif tidak dapat dilakukan, tapi menurutnya upaya hukum itu boleh saja. “Sebenarnya tidak ada ruang PK, ini pendapat saya. Tetapi yang namanya hukum itu boleh saja kalau mau dicoba, sama dengan BG ini. Inikan dia mencoba, tapi yang akan menderita sistemnya. Sistem hukum ini menjadi tidak jelas, apakah suatu perkara ini bisa diuji, karena peninjauan kembali itu tidak dimaksudkan untuk perkara praperadilan, praperadilan itu berbicara suatu yang sederhana, berbicara tentang sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan. Ini diuji tidak untuk bertingkat-tingkat, ini cukup satu kali, kita harus menerima apapun putusannya,” imbuhnya.
Di sisi lain, Trisno melihat hal yang dilakukan oleh pihak BG ada manfaatnya untuk perkembangan hukum Indonesia. Hal tersebut berpeluang bagi setiap orang yang menjadi tersangka boleh mengajukan praperadilan untuk menguji penetapan tersangka terhadap dirinya sebagai calon tersangka. Akan tetapi menurutnya ini nantinya menjadi persoalan hakim yang bisa konsisten atau tidak terhadap hal tersebut, apakah hakim mau karena yang mengajukan seorang BG atau hal ini bisa berlaku untuk semua orang, sehingga hal seperti ini mempertaruhkan sistem hukum dan kredibilitas hakim. (Shidqi)