Kasus pemblokiran situs media Islam oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi (Keminfo) kian mendapat banyak sorotan dari masyarakat maupun kalangan akademisi. Langkah pemerintah yang dinilai mengambil kebijakan secara sepihak dan cenderung bertindak sendiri tersebut, dikhawatirkan justru akan menimbulkan masalah lain. Sebab dalam kacamata akademis, tindakan pemerintah tersebut dinilai menyelesaikan masalah dengan masalah.
Salah seorang dosen Hubungan Internasional, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Muhammad Rofiq, Lc., MA pun mengatakan, jika sikap pemerintah yang seperti itu malah melahirkan masalah baru. Karena menurutnya, dengan tindakan pembredelan situs Islam tersebut maka sebagian masyarakat sipil (non-pemerintah) akan memiliki prasangka negatif pada pemerintah. “Seharusnya pemerintah lebih mengambil tindakan yang persuasif bukan dengan cara pendekatan seperti pembredelan atau militeristik. Bukan pula dengan menyelesaikan masalah tapi malah menghasilkan masalah. Karena di situlah akan melahirkan prasangka negatif pada pemerintah, dan akan ada prasangka jika pemerintah mencoba memberangus demokratisasi,” ujarnya saat ditemui pada Kamis (2/4) di Kampus Terpadu UMY.
Padahal, menurut dosen HI yang juga dosen Agama Islam dan Kemuhammadiyahan (AIK) UMY ini, kebebasan berekspresi dan berpendapat juga mendapat jaminan dari Undang-Undang. Tinggal pemerintah dan semua elemen masyarakat sipil seperti organisasi masyarakat dan ormas-ormas Islam yang menentukan batasannya seperti apa, jika mengalami kasus seperti dicurigai sebagai corong ideologi lain di negeri ini. “Pemerintah sebelum melakukan pembredelan atau pemblokiran seperti sekarang ini, seharusnya terlebih dahulu harus punya kriteria. Misalkan, bagaimana dan seperti apa situs-situs yang itu dinilai memang membahayakan ideologi negara kita yakni Pancasila, merongrong dan membahayakan kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), atau menyerukan ideologi lain di negara ini,” jelasnya.
Selain itu, menurut Rofiq, pemerintah juga jangan hanya bertindak sendiri karena ada laporan bahwa ada situs Islam yang menjadi corong ISIS, lalu mengeneralisir semua situs Islam yang ada sebagai situs radikal dan pantas diblokir. “Tapi pemerintah juga harus punya dan mau diberi masukan oleh ormas-ormas Islam. Pemerintah dan ormas-ormas Islam pun harus duduk bersama dan membuat kesepakatan definisi bersama, seperti apa dan bagaimana kriteria sebuah situs itu dikatakan radikal dan membahayakan negara juga umat Islam di negeri ini. Jangan hanya bertindak sendiri,” ungkapnya.
Sementara itu di sisi lain, alumnus Universitas Al-Azhar, Mesir ini pun mengakui jika memang ada situs yang menjadi corong paham-paham radikal seperti ISIS tersebut. Namun itu tidak semua situs Islam yang mendukung paham mereka. Sebab masih sangat banyak situs Islam lainnya yang justru menentang paham ISIS serta paham radikal lainnya. “Dan seharusnya, situs yang memang dengan nyata terlihat sebagai corong paham radikal inilah yang jadi prioritas utama pemerintah untuk ditangani. Jangan hanya karena ada situs Islam yang memiliki perbedaan tafsir agama dengan pemerintah, lalu semua situs Islam disamakan atau digeneralisir sebagai corong paham radikal. Padahal tidak seperti itu,” paparnya.
Karena itulah, Rofiq pun menyarankan pada pemilik atau pengelola situs Islam untuk tidak terbawa emosi dalam menanggapi dan menghadapi masalah pemblokiran tersebut. Sebab ada dua hal yang sebenarnya bisa menjadi pegangan pemiliki dan pengelola situs untuk bisa melakukan yang lebih baik lagi. “Pertama, ini bisa menjadi sarana intropeksi bagi situs-situs Islam yang diblokir. Mungkin dalam beberapa hal tertentu apa yang disampaikan situs-situs tersebut memang benar adanya, tapi tidak menutup kemungkinan juga jika memiliki kekurangan misalkan dari sikap yang kurang bersahabat atau lainnya. Kedua, kalau ingin menolak pemblokiran itu harus ditempuh dengan jalan demokratis juga. Seperti menyampaikan surat keberatan atas pemblokiran tersebut, atau cara-cara lain yang dibenarkan secara demokratis,” pungkasnya.