Berita

Budaya Menonton Lebih Dominan di Kalangan Masyarakat

img_2575

Sejak era sebelum reformasi, budaya di Indonesia tidak mengenal budaya membaca dan menulis, tapi lebih pada budaya menonton. Kemunculan budaya ini (menonton) karena masyarakat Indonesia lebih memilih media yang mudah dicerna, diamati, dan mudah diikuti. Sehingga budaya instan atau cepat memperoleh informasi menjadi banyak dipilih oleh masyarakat Indonesia.

“Budaya di Indonesia adalah budaya menonton yang menjadi budaya instan. Seperti yang terjadi saat ini sekitar 70 persen anak muda lebih menyukai menonton film, televisi, maupun mengakses via internet daripada datang ke majelis-majelis. Menonton ini lebih cepat menyerap informasi dan menganalisis apa yang ditonton,” ujar Dr. Zuly Qodir saat menjadi salah satu pembicara pada kuliah umum yang bertajuk Perkembangan Media, Religi, dan Politik, Kamis (10/11) di Gedung Amphi Teater Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).

Dosen Magister Ilmu Pemerintahan UMY ini melanjutkan, budaya menonton ini tentu dipengaruhi oleh cara pandang media dalam menyajikan informasi. Dalam mempengaruhi cara pandang bisa dilakukan melalui perfilman. Seperti halnya cara pandang sutradara yang mengarahkan skenario agar memunculkan karya yang dapat dianalisa penonton. “Saat ini media seperti Tuhan. Masyarakat akan dengan mudahnya mengakses media. Media selalu membuat fantasi kepada penonton berdasarkan pandangan subyektif para sutradara. Pandangan subyektif di bangun era pra reformasi,” jelasnya.

Penjelasan tersebut senada dengan Garin Nugroho selaku produser dan sutradara film Indonesia. Garin mengungkapkan bahwa budaya menonton bagi masyarakat Indonesia kebanyakan tersebut merupakan salah satu karakter penting dalam perfilman yang tidak perlu membaca dan menulis. “Karakter film muncul dari budaya-budaya yang muncul pula. Media film yang merupakan media hitam putih menjadi alasan Indonesia, khususnya masyarakat muda yang lebih memilih menonton,” ungkapnya.

Dalam penjelasan Kuliah Umum yang diselenggarakan oleh Prodi Ilmu Komunikasi UMY dan Magister Ilmu Pemerintahan UMY, Garin menambahkan bahwa media hitam putih merupakan media yang mudah dicerna dan masyarakat lebih cepat menganalisa informasi yang diperoleh dengan mudah. Dalam pemaparannya, Garin menyayangkan saat ini muncul kebebasan dalam menyebarluaskan informasi, sehingga memberikan dampak yang buruk bagi masyarakat Indonesia. Terlebih budaya menonton masih melekat di Indonesia.

“Contohnya, muncul kebebasan perkembangan media saat ini yang sangat viral di masyarakat yaitu kebebasan mengakses film berbau sara, seperti unsur porno. Pada zaman sebelum reformasi, jika ada yang mau menonton film porno, harus sembunyi-sembunyi. Tidak seperti zaman sekarang yang dengan mudahnya diakses di internet, maupun dimasukkan pada adegan perfilman. Hal ini juga yang sangat kita sayangkan dari kebebasan dalam menyebarluaskan informasi tersebut,” jelasnya. (hv)