Korupsi selama ini diklasifikasikan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), karena korupsi merupakan tindak kejahatan yang sangat mempengaruhi sendi-sendi sektor kehidupan suatu negara dan masyarakat. Dampak yang ditimbulkannya pun luar biasa karena menyangkut perekonomian negara.
Mengacu pada Transparency International, nilai atau skor indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia adalah 34 dari 100. Skor tersebut membuat Indonesia berada di peringkat 115 dari 180 negara terkorup di dunia. Ternyata jika ditelusuri kembali, pelaku korupsi tidak hanya di dominasi di tingkat pusat saja, korupsi telah merambah hingga ke level paling bawah. Contohnya, dalam kasus dana desa, korupsi tidak hanya melibatkan pejabat tinggi seperti Lurah, tetapi juga pejabat di tingkat bawah seperti kepala dusun bahkan RT. Dulu, koruptor disebut sebagai penjahat berkerah putih, namun sekarang tidak perlu berkerah lagi untuk menjadi seorang koruptor.
Dikarenakan sifat kejahatan luar biasa dari korupsi ini, maka penegakan hukum dan penanggulangannya pun harus ekstra. Begitu dahsyatnya korupsi, maka dibentuklah Lembaga penegak hukum khusus seperti KPK dan pengadilan tipikor.
Namun, dengan diberlakukannya UU Nomor 1 Tahun 2023 atau KUHP baru yang mencabut Sebagian pasal terkait delik korupsi yang diatur dalam UU Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi (sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 21 tahun 2001), implikasinya, pidana korupsi dimasa mendatang tidak lagi dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa, melainkan sebanding dengan kejahatan konvensional seperti pencurian atau penggelapan.
Mukhtar Zuhdi, Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) menilai, pemberlakuan KUHP baru masih ambigu dan tidak totalitas.
“Jika korupsi bukan lagi extraordinary crime melainkan merupakan tindak pidana umum biasa atau dipersamakan dengan kejahatan konvensional, maka konsekuensinya adalah nanti perkara pidana korupsi itu akan dipersamakan penegakan hukumnya seperti pidana pada umumnya, seperti pencurian, pembunuhan, dan sebagainya,” katanya dalam acara Clinical Legal Education Fakultas Hukum (FH) UMY, Kamis (11/7) di Ruang Sidang FH UMY.
Dengan adanya perubahan tersebut, Mukhtar meragukan apakah kedepan KPK masih akan difungsikan, apakah nanti penuntut umum dari KPK juga masih akan dimanfaatkan, hingga apakah pengadilan tinggi tipikor masih diberikan kewenangan untuk menangani kasus korupsi.
“Ini kita belum tahu pasti. Tapi secara logika umum kalau sudah ditarik menjadi pidana umum, maka sama dengan pidana umum pada umumnya,” ujarnya.
Ke depannya, Mukhtar menggambarkan masih ada kasus korupsi yang masuk dalam pidana umum tetapi juga masih ada kasus korupsi yang masuk ke dalam pidana khusus. Ia juga menilai, ke depan KPK mungkin akan diberikan kewenangan tertentu yang tidak sama seperti halnya ketika kasus korupsi ini masih total menjadi pidana khusus.
“Korupsi ini ambigu, unik, khusus tapi umum, umum tapi diberi label khusus. Di samping itu, masih ada sisa-sisa pasal pidana di UU Nomor 31 tahun 99 yang tidak dihapus, maka bagaikan masih punya sisa kekhususan yang berpotensi menjadi museum aturan yang kemungkinan hanya nongkrong, tapi tidak dimanfaatkan dalam penegakan hukum,” terangnya lagi.
Menurut Mukhtar, langkah utama yang harus diambil saat ini adalah memfokuskan upaya pada penguatan sistem pencegahan dan optimalisasi pengawasan terhadap praktik korupsi. Di samping itu, tantangan besar yang dihadapi adalah membangun kesadaran hukum di masyarakat untuk menghapus budaya korupsi yang telah mengakar.
“PR besar kita saat ini adalah membangun kesadaran hukum masyarakat agar menghilangkan budaya korupsi,” pungkasnya.(Mut)