Penerapan desentralisasi di Indonesia menurut Buya Syafii Ma’arif belum mencapai tujuan. Hal ini menggelitik Syafii untuk mengusulkan bentuk negara Indonesia dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi Negara Persatuan Republik Indonesia (NPRI). Menurutnya, konsep negara federasi seperti Malaysia, Swiss maupun Jerman agaknya lebih tepat agar pemimpin tidak melihat Indonesia dari Jakarta, atau Jawa saja.
Syafii menyampaikan hal tersebut di hadapan mahasiswa FISIPOL se-DIY dan Jateng pada acara Dialog Negeriku bertajuk “Membangun Kultur Ideal dalam Menciptakan Pemimpin Ideal 2014” yang diadakan Forum Lembaga Mahasiswa Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Indonesia (FOLMASPI) bekerjasama dengan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Poltiik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (BEM FISIPOL UMY), Selasa (27/12) di Ruang Sidang lantai 5 Gedung AR Fahruddin B Kampus Terpadu UMY.
Syafii juga menilai, meskipun pemerintah menerapkan sistem desentralisasi di Indonesia, nilai-nilai sentarlistik masih sangat kental dirasakan dalam aplikasinya. “Walaupun kewenangan diserahkan ke daerah, izin pembangunan ke pemerintah pusat masih melalui proses yang lama sekali. Itu karena pemerintah pusat belum tentu tahu kondisi di daerah. Semua masih hanya melihat Jawa. Tidak ada distribusi kekayaan yang adil”, terangnya.
Sebuah negara majemuk menurut Syafii seharusnya benar-benar mempertimbangkan keanekaragaman yang ada, baik suku ras agama. Para pemimpin yang ideal adalah yang melihat negara ini dari kacamata Indonesia seutuhnya. “Tidak seperti sekarang ini, lebih dari setengah perederan uang di Indonesia terjadi di Jawa. Padahal Indonesia negara dengan tradisi sosiokultural yang kental. Kekhasan daerah harus dipertimbangkan”, jelas Syafii.
Kelompok separatis yang muncul di berbagai daerah di luar Pulau Jawa, menurut Syafii juga muncul salah satunya akibat kegelisahan masyarakat yang tidak mampu mengembangkan daerahnya tersebut. Sistem pemerintahan di Indonesia cenderung menimbulkan kesenjangan pembangunan. “Padahal sumber daya alam daerah tersebut begitu berlimpah. Ya ini karena pusat pemerintahan masih ada di Jawa”.
Selanjutnya Syafii menjelaskan, upaya-upaya yang dituturkannya ini tetap hanya akan terjadi jika Indonesia dipimpin oleh para politisi yang idealis, bukan pragmatis seperti sekarang ini. Permasalahan besar menurutnya saat mengetahui 94% kepala daerah di Indonesia bahkan pecah dengan wakilnya sendiri. “Jadilah pemimpin untuk rakyat, bukan pemimpin untuk partai. Kita harus mengatakan selamat tinggal bagi pemimpin asal-asalan”
Selain Syafii Ma’arif, dialog tersebut menghadirkan Wakil Ketua Komisi 2 DPR-RI Ganjar Pranowo, SH., dan pengamat politik yang juga dosen FISIPOL UMY, Adde M. Wirasenjaya SIP., M.Si.