Civitas academica Universitas Muhamamdiyah Yogyakarta (UMY) menyampaikan pernyataan sikap pada Sabtu (22/3) atas kekhawatiran dan ketakutan masyarakat akan kembali masuknya TNI ke dalam ranah sipil. Ini berlandaskan proses penyusunan Revisi Undang-Undang (RUU) yang berlangsung cepat, tanpa transparansi dan seolah dilakukan secara diam-diam sehingga mengabaikan aspirasi publik secara luas.
Disampaikan oleh Prof. Dr. Zuly Qodir, M.Ag. selaku Wakil Rektor UMY bidang Pendidikan dan Kemahasiswaan, isi yang terkandung dalam perubahan UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI dapat dibilang sangat krusial. Ini dapat memberikan keleluasaan dan ruang gerak yang lebih besar kepada TNI dalam berkiprah di ranah publik, yang dapat merusak iklim demokrasi di Indonesia.
“Setelah disahkan oleh DPR, UU TNI menjadi pintu masuk TNI dalam menggerogoti supremasi sipil dalam iklim demokrasi. Sehingga ini akan menjadi sangat meresahkan dan merupakan alarm berbahaya bagi keberlangsungan kebebasan sipil, hak asasi manusia dan iklim demokrasi,” ujar Zuly.
Terdapat enam poin yang menjadi hasil kajian dari civitas academica UMY, sebagai bagian dari pernyataan sikap atas situasi demokrasi saat ini:
1. Menuntut Pemerintah dan DPR untuk menjunjung tinggi konstitusi dan tidak mengkhianati amanat rakyat dengan menjaga prinsip demokrasi dan supremasi sipil
2. Menuntut TNI/POLRI, sebagai alat negara, melakukan reformasi internal dan meningkatkan profesionalisme untuk memulihkan kepercayaan publik
3. Menghimbau seluruh insan akademik di seluruh Indonesia untuk tetap menjaga kewarasan dari sikap dan perilaku yang melemahkan demokrasi, dan melanggar konstitusi
4. Mendorong dan mendukung upaya masyarakat sipil mengawal agenda reformasi dengan menjaga demokrasi dan supremasi sipil
5. Memohon kepada Presiden untuk tidak menandatangani revisi UU TNI yang disahkan oleh DPR RI dan menerbitkan PERPPU mengembalikan TNI pada kedudukan seperti semula
6. Mendorong masyarakat sipil untuk melakukan jihad konstitusi, mengajukan judicial review (JR) atas RUU TNI yang sudah resmi menjadi UU.
“Kita pantas untuk khawatir, bahkan takut akan semakin meluas dan menguatnya peran militer dalam politik kekuasaan. Kondisi ini akan mengaburkan komitmen bersama yang menjadi gentlement agreement bahwa TNI seharusnya menjadi alat pertahanan negara yang kuat, tangguh dan profesional,” imbuh Zuly.
Guru besar UMY di bidang sosiologi politik ini mengatakan bahwa pernyataan sikap UMY sebagai bentuk kepedulian dan ketidakinginan agar hal baik yang sudah dibangun sejak masa reformasi menjadi rusak hanya karena keinginan sebagian pihak. Dirinya melihat hal tersebut akan berbahaya bagi perkembangan demokrasi yang beradab di masa depan. Ia khawatir bahwa gejala new authoritarianism sudah mulai muncul melihat masuknya TNI ke ranah sipil.
Terkait dengan potensi kembalinya dwifungsi militer, pakar hukum tata negara UMY Prof. Iwan Satriawan, MCL., Ph.D. menyampaikan bahwa angkatan bersenjata yaitu TNI dan POLRI dituntut untuk bersikap profesional dalam tugasnya. Ia mengatakan tidak akan ada demokrasi yang transparan jika TNI memasuki ranah sipil, hanya akan terjadi ketakutan di masyarakat.
“Persoalan seperti ini sudah pernah dibahas pada masa reformasi. Prinsip dari TNI menurut UUD adalah untuk menjaga pertahanan dan keamanan negara, jika TNI ingin masuk ke wilayah sipil maka seharusnya dia melepaskan seragam dan senjatanya di militer. Karena kita tidak bisa berdemokrasi jika salah satu pihak memegang senjata, maka sudah seharusnya TNI bersikap profesional seperti yang tercantum dalam pasal 30 dari UUD,” ungkapnya. (ID)