Pada dasarnya tujuan dari sebuah perusahaan adalah untuk mencari keuntungan. Agar menjadi bagian dari warga negara baik lokal maupun global sebuah perusahaan harus melakukan Corporate Social Responsibility (CSR). Melalui CSR kesadaran perusahaan sebagai bagian dari warga negara ditumbuhkan.
Namun, tujuan dari sebuah perusahaan yang hanya mencari keuntungan sudah tidak relevan lagi diterapkan saat ini. Perusahaan harus mengubah paradigma ini dengan juga mengupayakan penciptaan kesejahteraan sosial dan melestarikan lingkungan. Selain itu, (CSR) yang hanya didasarkan pada prinsip sukarela tidak dapat dijalankan dengan efektif dan tak terukur.
Oleh karenanya, CSR sebaiknya menjadi sebuah kewajiban bagi perusahaan sehingga aktivitas ini memiliki kepastian legal dan kekuatan hukum yang mengikat. Kewajiban ini juga harus diikuti dengan adanya kewajiban dalam mengeluarkan hasil laporan kegiatan CSR kepada masyarakat.
Hal tersebut disampaikan Kepala Lembaga Pengembangan Penelitian,Pendidikan dan Masyarakat – Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (LP3M-UMY), DR. Mukti Fajar Nur Dewanta, yang diundang dalam 9th International Conference on Corporate Social Responsibility di Zagreb, Kroasia pada 16 hingga 18 Juni mendatang. Dalam konferensi tersebut Mukti akan mempresentasikan keunikan CSR di Indonesia.
Menurutnya sampai saat ini di berbagai negara baik negara maju maupun berkembang masih sangat sedikit CSR yang diatur melalui Undang-undang. “Hanya di Indonesia dan Filipina. Sedangkan di negara lain seperti Belanda dan Spanyol masih sebatas draft atau rancangan,”urainya sesat sebelum keberangkatannya ke Kroasia, di Kampus Terpadu.
Namun dibandingkan negara-negara maju seperti di Amerika Serikat yang mana CSR nya bersifat hanya sukarela, hal ini justru dapat berjalan dengan baik. Di negara tersebut terdapat korelasi antara perusahaan dan pasar. “Perusahaan yang tidak memiliki kepedulian terhadap masyarakat dan lingkungan pasti akan dijauhi oleh konsumen dan masyarakat pada umumnya. Sehingga di sana CSR dapat berjalan dengan baik,”tutur Mukti yang juga Dosen Fakultas Hukum UMY.
Sedangkan di negara yang CSR diatur melalui UU khususnya CSR yang ada di Indonesia ada beberapa persoalan yang harus diperhatikan. Persoalan tersebut dilihat melalui filosofi dari CSR itu sendiri. Selain itu pada kenyataannya perusahaan akan berhadapan dengan masyarakat dengan berbagai persoalan yang berbeda di setiap wilayahnya.
Mukti kemudian mencontohkan, Jika aktivitas yang paling menonjol dapat dilaksanakan di Yogyakarta adalah bidang pendidikan sehingga bisa saja perusahaan membuat CSR mengenai pendidikan. Tetapi jika kemudian perusahaan membuka cabang di Nusa Tenggara Timur, di sana yang paling menonjol adalah banyaknya wilayah yang kekurangan air. Jika diterapkan program CSR yang sama seperti di Yogyakarta sudah pasti tidak relevan.
Perbedaan yang terjadi pada penerapan CSR pada negara maju dan berkembang tersebut, menurut Mukti, juga disebabkan latar belakang yang berbeda pada masing-masing negara. Di negara maju hak-hak konsumen terlindungi, penegakan hukum sudah bagus. Tetapi di negara-negara berkembang konsumen belum benar-benar terlindungi, hampir semua UU belum berfungsi efektif sehingga perlu terobosan agar perusahaan harus bertanggung jawab kepada masyarakat dan lingkungannya.
Diharapkan melalui konferensi ini, Mukti akan mendapatkan tambahan informasi mengenai implementasi CSR yang efektif. “Sehingga melalui CSR kita dapat mengetahui sejauh mana kontrol pemerintah terhadap perusahaan dan control masyarakat kepada perusahaan. CSR ada untuk peningkatan kualitas hidup masyarakat,” tandasnya.