Pernikahan siri lebih banyak membawa dampak buruk bagi perempuan dan anak. Hal ini disebabkan ketika pernikahan di bawah tangan itu dilakukan kemudian menghasilkan anak. Selain tidak sah secara hukum, anak tersebut nantinya akan kehilangan hubungan hukum terhadap ayah. Sehingga tidak jarang perempuan dan anak kehilangan hak mereka seperti hak nafkah, warisan jika si ayah meninggal, serta isteri yang tidak akan mendapatkan harta gono-gini ketika bercerai.
Hal ini disampaikan oleh Anne Permatasari, MA., dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), selaku Ketua Pusat Studi Wanita (PSW UMY) di Kampus Terpadu UMY Rabu (21/9) dalam Diskusi “Pernikahan yang tidak Tercatat Tinjauan Agama dan Sosial” dan pemutaran film dokumenter “Pernikahan yang tidak Tercatat” yang diselenggarakan PSW UMY bekerja sama dengan Majelis Tarjih PP Muhammadiyah dan Forum Suara Lintas Perempuan Yogyakarta (SLPY).
Menurut Anne, perempuan yang melakukan nikah siri akan sulit untuk bersosialisasi karena masyarakat akan cenderung memiliki opini negatif. Sementara anak hasil nikah siri akan kehilangan banyak haknya. “Perempuan yang dinikahi secara siri mungkin akan dianggap perempuan simpanan, hal ini tentu saja akan sangat merugikan bagi perempuan. Belum lagi kalau anak tidak memiliki status yang sah secara hukum, ayahnya bisa dengan mudah tidak mengakuinya,” kata Anne.
Anne juga menambahkan bahwa ternyata banyak mahasiswi yang melakukan nikah siri akhirnya menanggung beban sendiri. “Yang mengkhawatirkan dari mahasiswa sekarang ini, mereka kadang melakukan kawin siri tanpa diketahui orang tua mereka karena jauhnya jarak antara Kota Yogya dengan asal mereka yang luar Jawa, misalnya. Ketika ternyata perkawinan itu menghasilkan anak, akhirnya mereka terjerumus kepada masalah yang berkepanjangan,” ungkap Anne.
Sementara itu dalam diskusi ini, Ketua Forum SLPY, Ifa Ariyani, S.Psi menjelaskan mengenai berbagai dampak negatif akibat kawin siri yang ternyata akan sangat dirasakan oleh pihak perempuan, dan juga anak apabila sudah terlahir anak dalam perkawinan. Isteri siri cenderung mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Anak hasil kawin siri akan sulit mendapatkan haknya, karena tidak jelas statusnya secara hukum negara. “Sementara dalam perkembangan mental, anak hasil kawin siri akan mengalami tekanan mental. Cenderung merasa malu, sehingga perkembangannya pun menjadi tidak optimal.”ujar Ifa.
Dari sisi yang lain, Dr. Wawan Gunawan dari Majelis Tarjih PP Muhammadiyah memaparkan bagaimana sebuah kawin siri dipandang dalam agama. Wawan menegaskan bahwa saat ini Majelis Tarjih bekerja sama dengan Aisyiah telah mengajukan Rancangan Undang-Undang Perkawinan. “Kami mengajukan satu pasal, ayat, bahwa pernikahan harus dicatatkan secara resmi,” ungkap Wawan.
Menurut Wawan, ada sebuah kesalahan stigma pada masyarakat. Masyarakat seringkali membenarkan perbuatan nikah sirinya dengan dalih bahwa pada zaman Rasulullah SAW pernikahan tidak dicatatkan. “Adalah tidak benar pada masa Rasul nikah tidak dicatatkan. Pencatatan pernikahan pada zaman Rasul memang bukan dengan ditulis, tapi dengan memori kolektif. Setiap ada pernikahan, akan diiklankan atau diberitahukan melalui walimahan, sehingga banyak orang berdatangan dan mengingat peristiwa itu. Itulah cara pencatatannya. Karena bagaimana akan ditulis padahal zaman itu belum dikenal tulisan,” terang Wawan.
Sebelum diskusi dimulai, diadakan pemutaran film dokumenter yang menceritakan tentang bagaimana kehidupan pasangan nikah siri dengan segala kesulitan yang dialami akibat melakukan nikah siri. Film berdurasi kurang lebih 20 menit ini dibuat oleh Lembaga Pengembangan Perempuan dan Anak bekerja sama dengan SLPY.