Sebagai hasil dari globalisasi dan meningkatnya penggunaan teknologi dan informasi serta intensitas gerakan migrasi, secara tidak langsung menghasilkan perubahan interaksi di kalangan masyarakat. Perubahan interaksi itu pun tidak hanya antar budaya yang sama, namun juga budaya yang berbeda yang kemudian menyebabkan masyarakat multikultural. Di samping meningkatnya kekayaan dalam berbagai aspek, interaksi antar budaya ini di sisi lain juga menghasilkan tensi, ketakutan dan konflik antar masyarakat.
Oleh karena itu, Dialog Antaragama dinilai mampu menyelesaikan konflik yang terjadi dalam masyarakat, khususnya masyarakat multikultural. Dialog antar agama dapat memainkan peran penting dalam memfasilitasi interaksi yang konstruktif dan kolaboratif antara orang-orang yang berbeda agama untuk menghindari resiko pemahaman yang salah terhadap agama tertentu serta alasan di balik konflik dalam masyarakat multikultural.
Hal ini diungkapkan oleh Dr. Sidi M. Omar yang berasal dari Universitate Jaime, Spanyol dalam materinya yang berjudul “Interreligious Dialogue as an Alternative to the ‘Clash of Civilisation’ Theory”. Sidi menjadi pembicara dalam sesi 1 Mahathir Global Peace School 5 di Ruang Sidang Utama Ar. Fachrudin A lt. 5 Kampus Terpadu Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Senin (28/11). MGPS ke-5 yang diselenggarakan oleh UMY bekerjasama dengan Perdana Global Peace Foundation (PGPF) ini dilaksanakan selama 10 hari, sejak Sabtu (26/11) hingga Senin (5/12), yang telah diawali dengan filtrip ke Pesantren Tebu Ireng, Jombang untuk berdialog dengan para ulama dan santri di pesantren tersebut.
Sidi mengungkapkan beberapa masalah yang terjadi dalam kehidupan multikultural di dunia saat ini. Salah satunya yaitu “Clash of Ignorance” yaitu ketidakpedulian seseorang terhadap budaya, suku, dan agama orang lain. “Ketidakpedulian punya implikasi signifikan dalam kehidupan sosial dan kultural karena hal tersebut membentuk kesadaran masyarakat dalam menentukan jalan dalam mempersepsikan mereka dengan yang lain dalam wilayah kultural mereka,”papar Sidi.
Selain itu, menurut Sidi masalah lainnya juga terdapat “kebutahurufan agama” atau yang disebut “Religious Iliteracy”. Religious Iliteracy adalah kecenderungan untuk mengenali agama semata-mata dengan praktek kebaktian, seperti upacara, ritual dan festival keagamaan ditambah dengan kecenderungan melihat tindakan individu, masyarakat, dan bangsa secara eksklusif untuk agama tanpa mengetahui dasar agama tersebut melakukan hal tersebut. “Saat ini Religious Iliteracy sudah menyebar. Hal ini merupakan wujud ketidakmampuan seseorang untuk memahami dan terlibat dengan perbedaan agama dan budaya dalam masyarakat multikultural saat ini,”tuturnya.
Oleh karena itu, menurut Sidi, penting melakukan dialog antar agama sebagai alternatif penyelesaian konflik di era sekarang ini. “Sebagai seperangkat kepercayaan, standar moral dan praktek ritual yang memandu sifat individu dan sosial, agama sangat berperan sebagai dimensi yang kuat bagi pengalaman hidup manusia. Saya kira sangat perlu untuk mendalami dialog antar agama yang berkontribusi untuk memecah kebuntuan diantara ketidakpedulian dan intoleransi sehingga menciptakan alternatif konstruktif untuk konflik multikulutural,”ungkapnya.
Dia menambahkan dialog antar agama ini harus dilakukan secara terbuka dan inklusif untuk semua kalangan masyarakat. “Dialog antar agama jangan dilakukan secara eksklusif oleh elit- politik, agama, dan akademisi- tetapi juga dipahami dan dibawa secara terbuka, yang melibatkan masyarakat beragama yang lebih luas di semua level,”tambahnya. (bagas)