Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Dr. M. Din Syamsuddin menginginkan agar Muhammadiyah bisa menjadi organisasi Islam yang berkeunggulan. Jika pada masa satu abad sebelumnya, Muhammadiyah menjadi organisasi Islam yang berkemajuan, maka pada abad kedua ini Din mengharapkan agar Muhammadiyah tidak hanya menjadi Islam yang berkemajuan, namun juga Islam yang berkeunggulan.
Hal tersebut diungkapkannya saat menjadi Keynote Speech dalam acara Seminar Pra Muktamar Muhammadiyah ke-47 “Muhammadiyah, Civil Society, dan Negara; Arah Pemikiran dan Gerakan Abad Kedua”, yang diselenggarakan pada Sabtu (25/4) di Gedung Pascasarjana UMY, kampus terpadu UMY.
Menurut Din, saat ini sudah waktunya bagi Islam dan umat Islam menjadi lambang dan faktor keunggulan. Karena itu dirinya menginginkan Muhammadiyah menjadi Islam yang berkeunggulan. “Muhammadiyah memang tetap pada apa yang sudah digagas sejak awal kelahirannya oleh pendirinya KH. Ahmad Dahlan, yaitu Islam yang berkemajuan dan tidak kita ubah. Walaupun saya ingin pada abad kedua ini agak maju sedikit, bukan hanya Islam yang berkemajuan tapi juga Islam yang berkeunggulan. Karena maju belum tentu unggul,” jelasnya.
Din juga mengatakan, jika berbicara soal keunggulan, bukan sekadar keunggulan komparatif ataupun kompetitif, melainkan juga keunggulan dinamis. Islam berkeunggulan yang dapat menjawab semua tantangan dan perubahan zaman. “Maka Islam yang berkemajuan dan berkeunggulan di sini ada faktor dinamik. Istilah berkemajuan di sini juga melintasi ruang dan waktu, dalam rangka membawa misi islam. Karena rahmatan lil ‘alamin itu terkait dengan dinamika zaman,” terangnya.
Sementara itu, hal berbeda diungkapkan oleh mantan Ketua umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr. Syafi’i Ma’arif, yang melihat Muhammadiyah dari sisi politik. Menurutnya, sejak kelahirannya lebih dari satu abad yang lalu, Muhammadiyah memang tidak dirancang untuk mengurus politik kenegaraan sebagai bagian dari teologi atau filsafat politik dalam pengertian modern.
Namun demikian, dalam menghadapi era perpolitikan di Indonesia, Muhammadiyah tetap bisa mempertahankan identitasnya dalam menghadang fluktuasi politik yang tidak menentu. Dalam artian, Muhammadiyah bisa tetap menjadi gerakan Islam non-politik. “Akan tetapi, Muhammadiyah tetap sebagai pembantu penting negara dalam urusan kemasyarakatan, pendidikan, dan kemanusiaan,” jelasnya.
Kemudian dalam usianya di abad kedua nantinya, Syafi’i Ma’arif pun menyarankan agar Muhammadiyah tetap memikirkan peran penting apa yang akan dipilihnya. Apakah Muhammadiyah akan tetap hanya sebagai pembantu negara, atau mau bergerak lebih jauh untuk juga menjadi penentu perjalanan negara Indonesia. “Dan pilihan itu tergantung kepada pemikiran dan pertimbangan warga Persyarikatan,” ujarnya.